Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelaskan bahwa ASN terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. PNS berhak memperoleh gaji, tunjangan dan fasilitas; cuti; jaminan pensiun dan jaminan hari tua; perlindungan; dan pengembangan kompetensi. Sedangkan PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan; cuti; perlindungan; dan pengembangan kompetensi. Berdasarkan hal tersebut maka setiap ASN memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengembangkan kompetensi. Pengembangan kompetensi untuk ASN dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran.
Pengembangan kompetensi ASN selanjutnya diatur lebih lanjut melalui Peraturan Lembaga Administrasi Negara (PerLAN) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan Peraturan LAN tersebut, pengembangan kompetensi melalui pelatihan terdiri atas pelatihan klasikal dan pelatihan non klasikal. Pelatihan klasikal merupakan proses pembelajaran tatap muka di dalam kelas dengan mengacu kurikulum. Pelatihan non klasikal merupakan proses praktik kerja dan / atau pembelajaran di luar kelas dan dilaksanakan melalui jalur pertukaran PNS dengan pegawai swasta; magang / praktik kerja; benchmarking atau study visit; pelatihan jarak jauh; coaching; mentoring; detasering; penugasan terkait program prioritas; e-learning; belajar mandiri/self-development; team building; dan jalur lain yang memenuhi ketentuan pelatihan non klasikal.
PerLAN Nomor 5 Tahun 2018 juga mengatur tentang kewajiban setiap ASN untuk melaksanakan pengembangan kompetensi paling sedikit 20 (dua puluh) jam pelajaran dalam periode 1 (satu) tahun. Perhitungan 1 (satu) jam pelajaran setara dengan 45 (empat puluh lima) menit pembelajaran. Sehingga setiap instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan melalui rencana kerja anggaran tahunan instansi. Tentunya hal ini yang mendasari PPK untuk menetapkan kebutuhan dan rencana pengembangan kompetensi, melaksanakan pengembangan kompetensi serta melaksanakan evaluasi pengembangan kompetensi pegawai ASN.
Keterbatasan anggaran selalu menjadi tantangan terbesar dalam pengembangan kompetensi ASN. Belum semua instansi pemerintah menyediakan anggaran dalam pengembangan kompetensi ASN. Berdasarkan hasil studinya, Pusat Kajian Reformasi Administrasi Lembaga Administrasi Negara (2015) menjelaskan bahwa sebuah instansi pemerintah pusat membutuhkan anggaran sejumlah Rp. 6 miliar untuk dapat melakukan program pengembangan kompetensi terhadap 50% pegawainya. Andai pun telah disusun perencanaan anggarannya, belum juga dapat memenuhi kebutuhan seluruh pegawai. Hal ini yang mendorong berkurangnya kesejahteraan ASN dari segi pengembangan kompetensi. Lantas apakah tidak ada solusi dalam pengembangan kompetensi ASN yang tidak berbasis kepada anggaran?
Ladiatno (2020) menjelaskan bahwa pengembangan kompetensi melalui magang, pertukaran pegawai, pembelajaran jarak jauh, coaching dan mentoring merupakan upaya untuk mereduksi besarnya biaya pengembangan kompetensi pegawai. Hal ini juga sekaligus mengubah paradigma bahwa pengembangan kompetensi aparatur tidak selalu dengan metode pelatihan klasikal. Penerapan coaching, mentoring dan counseling yang dilakukan sepanjang tahun secara periodik akan mendorong optimalisasi implementasi Manajemen Kinerja ASN di era industri 4.0 (Azizah dan Adhani: 2021). Penerapan coaching dan mentoring akan memenuhi kebutuhan pengembangan kompetensi ASN sebanyak 20 (dua puluh) jam pembelajaran (JP) dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. PerLAN Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai Negeri Sipil menyebutkan bahwa pelaksanaan coaching dan mentoring dapat dilaksanakan secara nasional maupun internasional. Untuk perhitungan 1 (satu) kali kegiatan coaching secara nasional setara dengan 2 (dua) JP dan maksimal dihitung 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Sedangkan untuk perhitungan 1 (satu) kali kegiatan coaching secara internasional setara dengan 4 (empat) JP dan maksimal dihitung 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Untuk perhitungan 1 (satu) kali kegiatan mentoring secara nasional setara dengan 2 (dua) JP dan maksimal dihitung 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Sedangkan untuk perhitungan 1 (satu) kali kegiatan mentoring secara internasional setara dengan 4 (empat) JP dan maksimal dihitung 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan.
Meski sekilas mirip, coaching dan mentoring merupakan konsep pengembangan kompetensi dengan fokus yang berbeda. Menurut Arsendatama dalam Education (2017) terdapat perbedaan antara coaching dan mentoring. Pada proses coaching, seorang coach hanya berperan dalam memfasilitasi karena peserta (coachee) dapat belajar dari dirinya sendiri, sedangkan mentor dalam proses mentoring mempunyai peranan mengajari dan memberi petunjuk terhadap pesertanya (mentee). Sehingga pada pelaksanaan coaching berfokus pada pembinaan untuk pencapaian kinerja jangka pendek dan pada pelaksanaan mentoring berfokus pada pendampingan untuk pencapaian kinerja jangka panjang (berkelanjutan). Untuk mencapai target kinerja jangka pendek, maka coaching mempunyai kecenderungan mempunyai target kerja yang lebih spesifik, mempunyai batas waktu pelaksanaan yang jelas, dan membutuhkan coach dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Sementara mentoring lebih mendorong pesertanya mempunyai kesempatan untuk berkembang, mempunyai batas waktu pelaksanaan yang lebih fleksibel, dan membutuhkan mentor dengan latar belakang kompetensi yang sama dan lebih berpengalaman. Tentunya pelaksanaan coaching dan mentoring pada ASN akan sejalan dengan pencapaian kerja organisasi.
Perumusan pengembangan kompetensi ASN secara ideal harus dapat menjawab kebutuhan ASN yang profesional. Pengembangan kompetensi dengan basis anggaran yang terbatas tidak lagi menjadi sebuah hambatan. Coaching atau mentoring di kalangan ASN dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengembangan kompetensi sehingga kesejahteraan ASN dalam pemenuhan pengembangan kompetensi dapat terpenuhi. Semoga.
Henri Prianto Sinurat, S.IP
Analis Kebijakan Ahli Pertama, Puslatbang PKASN, LAN RI