Menu Close

Afirmasi Pengalihan Tenaga Honorer di Lingkungan Pemerintah Daerah

Tenaga Honorer Tulang Punggung Pelayanan Publik

Tenaga Honorer atau pegawai non-ASN menjadi satu alternatif solusi kekurangan pegawai (PNS) di lingkungan instansi pemerintah.

Bagi Pemerintah Daerah (Pemda) tidak sedikit tenaga honorer menjadi backbone dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dalam pembangunan dan pelayanan publik. Dapat dikatakan tanpa tenaga honorer pelayanan publik lumpuh.

Booming tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Daerah sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dimana setiap pembentukan Daerah Otonomi baru (DOB) akan membutuhkan pegawai untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan guna memberikan pelayanan publik dan masyarakatnya.

Dari lansiran data Kementeridan Dalam Negeri, tercatat total 514 Pemda Kabupaten/Kota terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota di 34 Pemerintah Provinsi, tentunya memiliki porsi kuantitas pegawai yang besar. Berdasarkan data BKN per Desember 2021 yang dilansir BAPPENAS, prosentase jumlah PNS Daerah sekira 77% (3.058.775) dan 94% (47.749) PPPK.

Terbitnya Surat Menteri PANRB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei 2022 mengharuskan setiap Institusi Pemerintah Pusat dan Daerah mengalihkan pegawainya yang tidak berstatus PNS atau PPPK dengan batas waktu maksimal 28 Nopember 2023. Bagi Pemerintah Daerah ini akan menjadi hal yang sangat menantang (baca: permasalahan).

Kebijakan tersebut dinegasikan Pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai honorer. Mafhum diketahui dari berbagai media informasi, kurangnya perhatian baik secara materi maupun immateri yang diterima para pegawai honorer dibandingkan pengorbanan dan kontribusi yang diberikan.

Terlepas dari kebijakan administratif yang banyak menjadi fokus, perlu kiranya dipertimbangkan kebijakan afirmatif yang dapat dilakukan sebagai pilihan alternatif untuk mengapresiasi para pekerja honorer.

Mengenal Pegawai non-ASN (Honorer)

Banyaknya pegawai non-ASN (honorer) yang bekerja/dipekerjakan instansi pemerintah khususnya di lingkungan Pemda (sejak kebijakan otonomi daerah) dan untuk memberikan kepastian kesejahteraan dan kewajiban para pegawai tersebut, mendasari Pemerintah untuk melakukan penataan status kepegawaian dengan menetapkan kebijakan PP Nomor 48 Tahun 2005 terakhir direvisi dengan No. 56/2012.

PP tersebut memberikan peluang tenaga honorer diangkat menjadi Calon PNS dalam bidang tugas tertentu yang didasarkan pada usia dan masa pengabdian. Sejalan dengan PP itu, Kementerian PANRB mengeluarkan Surat Edaran nomor 5 Tahun 2010, yang mengkategori pegawai honorer menjadi dua, yaitu Kategori I (KI) dan Kategori 2 (K2).  K1 adalah pegawai honorer yang gajinya dibiayai dari APBN atau APBD, sedangkan pegawai K2 adalah gajinya dibiayai dari non-APBN atau non-APBD.

Diharapkan pada tahun 2012, pegawai honorer K1 dan K2 dapat selesai diangkat menjadi PNS/CPNS, sedangkan pegawai honorer selain kategori K1 dan K2 terselesaikan pada tahun 2014. Namun harapan itu tidak dapat terealisasi sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 2014 yang menetapkan 2 kategori ASN, yaitu PNS dan PPPK.

Dengan dalih kebutuhan dan kekurangan pegawai, instansi pemerintah khususnya perangkat daerah di lingkungan Pemda tetap merekrut pegawai non-ASN yang dapat dikatakan masuk dalam kategori K1.

Adapun aspek legalitas rekrutmen yang dilakukan tidak hanya mendasarkan pada UU No. 5 Tahun 2014 dan peraturan turunannya tetapi juga mendasarkan pada UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan atau UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dengan peraturan turunannya antara lain PP No. 35/2021.

Terdapat 2 kategori pekerja dalam aturan ketenagakerjaan, yang didasarkan dari perjanjian kerjanya, yaitu Pekerja dengan Waktu Tertentu (PKWT) dan Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau peralihan diantaran kedua ketegori tersebut. Misalnya, Pekerja Harian yang awalnya PKWT bila bekerja kurang dari 21 hari dalam satu bulan, namun berubah menjadi PKWTT jika bekerja lebih dari 21 hari atau dilakukan selama 3 bulan berturut-turut.

Sebagai perumpamaan di Kabupaten Bandung, merujuk pada Peraturan Bupati nomor 46 tahun 2020, menetapkan “Tenaga Non ASN adalah Pegawai Non PNS, Tenaga Harian Lepas, Pegawai Tidak Tetap, Tenaga Kontrak Kerja, Sukwan, Magang, Kategori 2 dan lainnya yang bekerja/dipekerjakan pada Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung berdasarkan kebutuhan Perangkat Daerah yang pembiayaannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung.” Ditinjau dari jenis jabatannya dibagi menjadi Tenaga Penunjang Kegiatan dan Tenaga Ahli Kegiatan.

Adapun tenaga penunjang dikategori menjadi 3, yaitu tugas yang dapat dialihdaya, tugas administrasi; dan tugas teknis, sedangkan Tenaga Ahli Kegiatan merupakan non-ASN yang bekerja pada Perangkat Daerah dengan standar keahlian tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Upaya-upaya Afirmatif

Bagi pegawai honorer yang tidak memenuhi syarat pendaftaran maupun yang tidak lulus seleksi ASN (PNS dan PPPK)  dipertimbangkan untuk diberikan kompensasi. Kompensasi ini bisa dalam bentuk material, immaterial maupun kombinasi.

Hal ini sebagai affirmative policy action, penghargaan atas jasa-jasa pegawai honorer yang telah berkontribusi dalam berbagai tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan publik. Pemberian kompensasi tersebut dapat diberikan jika memenuhi syarat tertentu, misalnya telah mengabdi lebih dari 5 tahun dan masih dalam usia produktif. Bentuk kompensasi yang diberikan dapat berupa:

Piagam Penghargaan; Piagam ini juga dapat berfungsi sebagai tanda/kartu pengenal “dispensasi” untuk pembelian kebutuhan pokok masyarakat dan peralatan sekolah yang dijual Koperasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah atau badan usaha yang bekerjasama dan/atau beroperasi di Daerah setempat.

Pembiayaan Pendidikan; Pemerintah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan perusahaan sebagai implementasi program CSR (Corporate Social Responsibility) untuk memberikan fasilitas pembiayaan bagi anak atau pegawai ex-honorer yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Pelatihan Kewirausahaan (Enterpreneurship); menyelenggarakan pelatihan dan/atau bekerjasama dengan pihak lain yang bertujuan guna memberikan wawasan pemikiran bahwa sebagai honorer, para pegawai tersebut hanya berperan  sebagai “bawahan”, tetapi bila berwirausaha para pegawai tersebut dapat menjadi “atasan”, yaitu pemilik pekerjaan yang dapat memiliki anak buah.

Selain wawasan, mereka juga diberikan pengetahuan dan keterampilan teknis untuk menjadi pemilik pekerjaan. Pemerintah juga bias memfasilitasi atau menjamin para pegawai ex-honorer tersebut mendapatkan modal kredit usaha dari perbankan nasional.

Penjaminan Penyaluran Kerja; penyaluran para pekerja ex-honorer ke unit-unit usaha (BUMD), Koperasi di lingkungan Pemda (BUMD) atau memberikan rekomendasi kepada badan usaha (perusahaan swasta) yang bekerja sama dan/atau beroperasi di wilayah Daerah yang bersangkutan. Para pegawai ex-honorer yang disalurkan tersebut tentunya yang memenuhi kompetensi dan sesuai formasi yang dibutuhkan oleh unit usaha Pemda maupun bagi perusahaan.

Pembentukan Koperasi; didorong dan difasilitasi untuk membentuk koperasi sebagai media organisasi tempat kerja baru dan memandirikan korps para pegawai ex-honorer. Pembentukan koperasi ini dibimbing oleh perangkat daerah yang melaksanakan urusan koperasi, UMKM atau urusan bidang perekonomian.

Upaya-upaya itu tidak harus dilakukan sendiri oleh Pemerintah Daerah, namun dengan mengoptimalkan pendekatan penta-helix collaboration. (Academic, Business, Community, Government, dan Media dikenal sebagai ABCGM). Melalui upaya afirmatif dan pendekatan penta-helix itu, dapat meringankan tanggung jawab material dan immaterial Pemerintah Daerah khususnya bagi para pegawai ex-honorer. [*]

Zulpikar

Analis Kebijakan Ahli Madya, Puslatbang PKASN

Skip to content