Menu Close

Potret Sektor Publik: Pelayanan Publik, Kompetensi ASN dan Disrupsi Birokrasi

IMAM BAIHAQI LUKMAN, Analis Kebijakan Ahli Pertama Lembaga Administrasi Negara (LAN-RI)

Tidak bisa dipungkiri bahwa waktu berlalu dengan cepat, percepatan tersebut dirasa semakin tinggi di era kecanggihan dan perkembangan teknologi dewasa ini. Satu hal yang sangat erat kaitannya seiring berlalunya waktu adalah perubahan, inovasi dan disrupsi. Kita sadari bersama bahwa dunia yang kita tinggali saat ini sudah nampak sekali berbeda dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Perubahan dapat kita rasakan dari hal-hal yang kecil hingga hal-hal yang besar secara bersamaan. Mulai dari bagaimana kita mengkonsumsi makanan hingga bagaimana menyembuhkan penyakit. Perubahan menjadi suatu hal yang tidak bisa kita hindari dari kehidupan sehari-hari kita baik di sektor publik maupun sektor swasta, bagi masyarakat umum, akademisi, pekerja, maupun ASN.

Menurut Eggers, perubahan yang kita rasa telah terjadi di berbagai sendi kehidupan tersebut, tampaknya belum terjadi secara maksimal oleh salah satu sektor yang cukup familiar dengan kita semua. Sektor yang sudah hadir dalam kehidupan manusia sejak berabad-abad lamanya. Sektor tersebut adalah sektor pelayanan publik yang dilakukan oleh negara. Pelayanan negara dalam bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi negara sudah hadir sejak peradaban kuno Babilonia dan Mesopotamia hingga peradaban negara-bangsa di era modern ini.

Sektor yang sudah lama berlangsung tersebut memang telah mengalami perubahan baik dari segi jenis pelayanan yang dilakukan ataupun dari segi bagaimana pelayanan itu dilakukan. Namun, secara umum terkait dengan persepsi akan hal itu dari stakeholder utamanya yaitu masyarakat masih sama sejak dulu. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik dari masa ke masa cenderung sama bahwa pelayanan tersebut belum maksimal sehingga dirasa perlu untuk lebih ditingkatkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa meski dari masa ke masa ada peningkatan, pelayanan yang dilakukan oleh negara melalui birokrasi dan para birokratnya belum mampu memenuhi ekspektasi masyarakat di waktu yang sama. Hal tersebut berarti bahwa inovasi dan perubahan yang dilakukan oleh negara kalah cepat dibanding perubahan yang dialami masyarakat.

Pelayanan Publik

Menurut teori disruptif yang dikemukakan oleh Clayton M. Christensen, seharusnya pelayanan Publik yang dilakukan negara ketika selalu dirasa kurang optimal tersebut akan berujung pada matinya kegiatan tersebut dan secara naluriah akan digantikan oleh pelayanan yang disediakan oleh pihak lain yang jauh lebih baik. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada sektor publik karena ada unsur monopoli seperti yang disampaikan oleh Rhenald Kasali. Sehingga mesti pelayanan yang diberikan dianggap kurang maksimal, namun tetap mampu bertahan. Ceritanya akan berbeda ketika hal tersebut terjadi pada sektor swasta dimana ketika suatu produk dianggap tidak memuaskan pasti tidak akan berumur lama karena kalah bersaing dengan produk baru yang lebih baik.

Kondisi tersebut ternyata justru membuat birokrasi merasa berada pada zona nyaman. Tidak adanya alternatif seperti yang ada di sektor swasta seperti menjadi justifikasi ketidakpekaan birokrasi terhadap ketidakpuasan masyarakat. Pelayanan yang dilakukan ala kadarnya, prinsip melayani justru melenceng menjadi ingin dilayani. Peran sebagai pelayan masyarakat tidak dilakukan, birokrasi justru mempersulit masyarakat dengan mengharapkan rente kepada mereka. Di masa dulu, masyarakat pasrah dengan kondisi tersebut. Namun sekarang hal itu mulai berubah. Masyarakat semakin vokal dalam menyuarakan ketidakpuasannya, ditambah dengan semakin mudahnya informasi tersebar dan viral berkat semakin tinggi penggunaan media sosial. Suara ketidakpuasan masyarakat tersebut harus segera ditindaklanjuti untuk mencegah polemik dan potensi konflik di masyarakat.

Fakta-fakta yang tadi disebutkan sudah semestinya menjadi cambuk bagi para aparatur publik yang memberikan pelayanan publik. Hal ini berlaku juga bagi aparatur sipil di negara kita Indonesia. sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh negara masih dianggap jauh dari ekspektasi masyarakat indonesia. Ditambah dengan banyaknya kasus penyimpangan berupa korupsi yang dilakukan oleh para aparatur sipil, membuat kepercayaan masyarakat akan penyelenggaraan negara semakin berkurang. Pada akhirnya membuat masyarakat menjadi apatis dan putus asa terhadap kondisi negara. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan bisa berdampak parah dan dapat memicu konflik.

Kita semua tidak menghendaki terjadinya kekacauan dan konflik yang disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara. Perbaikan harus segera dilakukan karena kita tidak bisa membayangkan ketika tidak segera dibenahi hal negatif apa yang akan terjadi. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan meningkatkan kualitas SDM dari ASN. Baik dari sisi kompetensi teknis maupun kompetensi non teknis.

Kompetensi ASN

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) ASN merupakan usaha yang dilakukan sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi pegawai. Namun, pada kenyataanya pelaksanaan Diklat terasa kurang efektif dan dianggap tidak berhasil. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, mengamanatkan bahwa perlu dilaksanakan Diklat bagi ASN yang mampu secara efektif dan teruji meningkatkan kompetensi pegawai. Ada cara pandang baru atas pengembangan kompetensi pegawai dimana pengembangan kompetensi adalah hak dan setiap pegawai mendapatkan hak sebanyak 20 JP untuk mengembangkan kompetensinya. Hak tersebut itu sejajar dengan hak-hak yang lainnya yaitu gaji, cuti dan perlindungan. Artinya, pegawai ASN bisa menuntut untuk mendapatkannya dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya.

Disinilah Badan Diklat mempunyai posisi dan peran yang penting meskipun pendidikan dan pelatihan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan kompetensi ASN. Ada metode-metode lain untuk mengembangkan kompetensi pegawai. UU ASN mengakomodasi seminar, kursus, dan penataran. Selain itu pengembangan kompetensi juga bisa dilakukan dengan pertukaran PNS dengan pegawai swasta atau praktik kerja di instansi lain dan pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama satu tahun. Cara yang terakhir ini didasari asumsi banyaknya inovasi yang dilakukan di kalangan swasta dan berharap dapat direplikasi dan diadaptasi pada sektor publik.

Selain perubahan metode diklat, kini kompetensi pegawai ASN menjadi syarat utama seseorang diangkat dalam suatu jabatan. Terkait dengan itu Badan Diklat harus memainkan peran yang lebih dimana harus mampu mewujudkan tiga kompetensi pegawai yang dipersyaratkan dalam UU ASN yaitu teknis, manajerial dan sosial kultural. Kompetensi teknis, misalnya, diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan pengalaman kerja secara teknis. Sedangkan kompetensi manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen dan pengalaman kepemimpinan. Terakhir, kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya sehingga memiliki mindset wawasan kebangsaan.

Dari tiga kompetensi yang disyaratkan dalam UU ASN, kompetensi sosial kultural adalah hal yang relatif baru diimplementasikan. Selama ini diklat lebih cenderung menonjolkan dua ranah yaitu knowledge dan skill. Ranah sikap-perilaku belum menjadi indikator utama keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu kompetensi sosial kultural sebagai syarat pengangkatan dalam jabatan bagi pegawai ASN akan berpengaruh terhadap proses pengembangan kompetensi pegawai. Sebuah model diklat yang lebih menonjolkan aspek sosial kultural dalam kurikulumnya menjadi sebuah keniscayaan.

Kompetensi Disrupsi pada Sektor Publik

Kompetensi sosial kultural yang diharapkan dimiliki oleh seluruh ASN merupakan pondasi yang krusial dimiliki ASN dewasa ini. Ketika kompetensi ini dimiliki oleh seorang ASN maka kemungkinan seseorang untuk menjadi agen perubahan semakin besar. Hal ini dikarenakan salah satu hambatan dari seorang ASN untuk bekerja maksimal adalah adanya hambatan mindset. Ketika dilatih kompetensi sosial kultural yang ada pada dirinya maka akan terjadi perubahan mindset dalam berfikir dan bekerja. Ketika hal tersebut sudah dikuasai secara penuh diharapkan semakin banyak ASN yang mampu mendisrupsi sistem yang sudah lama diterapkan di Indonesia. Harapannya tentu saja terjadi disrupsi pada sistem yang sudah ada yang menuntutnya berubah dan menjadi lebih baik.

Terjadinya disrupsi dalam birokrasi hal yang sudah sepatutnya didambakan. Pola kediklatan yang baru dilaksanakan demi mencapai hal tersebut. Hal yang tidak dapat dipenuhi oleh diklat model lama, dimana dianggap sebagai bentuk formalitas seseorang demi mendapatkan penghasilan yang lebih. Pola diklat lama tidak menstimulasi pegawai untuk peningkatan kompetensi dan perubahan mindset, karena penekananya hanya kepada didapatkannya sertifikat sebagai sarana administrasi untuk mengisi jabatan tertentu. Bertambahnya kompetensi seseorang dan perubahan mindset akan menambah kemampuan orang tersebut dalam mempengaruhi teman kerjanya ke arah yang lebih baik. Sehingga memungkinkan bagi orang tersebut bukan hanya bermanfaat bagi kinerja organisasi namun juga dapat memacu teman kerjanya untuk bekerja lebih baik lagi.

Ketika semakin banyak individu-individu mempunyai mentalitas seperti itu maka perubahan dalam sistem birokrasi menjadi keniscayaan. Dan perubahan tersebut akan lebih solid dan mudah diinternalisasikan oleh organisasi karena sifatnya yang bottom up. Kebijakan dan arahan untuk berubah yang dilakukan selama ini kurang berjalan efektif dan tidak bisa konsisten dari masa ke masa dikarenakan sifatnya yang top down. Model top down dalam kebijakan di sistem birokrasi sangat dipengaruhi oleh proses politik, sehingga ketika kekuasaan politik berganti maka kebijakan yang diambil pun berganti. Hal tersebut menjadi penyebab gagalnya usaha perubahan dalam tubuh birokrasi selama ini. Karena perubahan secara menyeluruh tidak mampu dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Kembali bicara tentang birokrat yang disruptif, kita perlu melihat dampak yang mungkin ditimbulkannya melalui kacamata swasta. Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption menyebut tentang Kebudayaan Uber. Uber adalah perusahaan transportasi online yang berbasis di Amerika Serikat. Mesti tampak seperti perusahaan transportasi, pada dasarnya Uber lebih suka menyebutnya sebagai perusahaan aplikasi berbasis Internet yang memungkinkan terjadinya sharing economy. Jelas saja karena memang Uber ketika pertama kali dikembangkan tidak mempunyai armada transportasi sama sekali. Pada awalnya uber tidak dianggap sebagai saingan Taksi konvensional namun seiring berjalanya waktu dimana layanan yang diberikan dengan kualitas yang lebih baik dan dengan harga yang lebih murah.

Kondisi Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama 2 tahun lebih ini sebenarnya telah memaksa sektor publik berbenah dan mendisrupsi berbagai bisnis proses. Hal yang paling terlihat adalah terkait penerapan teknologi secara masif dimana salah satu implementasinya adalah pelaksanaan pelatihan dan pendidikan secara daring maupun blended. Meskipun secara langsung dapat mempermudah dan menghemat biaya pelatihan dan pendidikan, namun di satu sisi memiliki potensi negatif terkait aspek efektifitas dan akuntabilitas pelaksanaanya. Aspek kompetensi sosio kultural tersebut menjadi faktor penting dalam meminimalisir aspek negatif tersebut, karena dengan mindset yang tepat penerapan teknologi dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Penerapan nilai-nilai yang ada pada kebudayaan uber tersebut bisa diadopsi oleh para ASN di birokrasi. Nilai-nilai seperti kemudahan, transparansi, dan keterjangkauan jika mampu diterapkan secara baik dan menyeluruh akan membuat kualitas birokrasi di negara ini menjadi jauh lebih baik dan kepercayaan masyarakat terhadap negara menjadi lebih kuat.


Kesimpulan

Pelayanan publik menjadi ujung tombak dari usaha negara dalam melayani masyarakatnya. Kualitas pelayanan publik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ketika kepercayaan itu tidak mampu dijaga maka bisa menimbulkan ketidakpuasan dan dapat memicu konflik sosial maupun konflik politik. Aparatur sipil merupakan barisan paling depan sebagai penjaga kepercayaan tersebut. Sebagai alat negara dalam usaha mensejahterakan masyarakatnya, Aparatur Sipil Negara diharapkan memiliki serangkaian kompetensi yang perlu secara teratur dan terukur ditingkatkan agar mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, kompetensi yang harus diperhatikan dan ditingkatkan bukan hanya kompetensi yang bersifat manajerial dan teknis semata namun juga kompetensi sosial kultural. Ketika kompetensi-kompetensi tersebut telah dimiliki secara lengkap oleh aparatur sipil maka diharapkan bisa menjadi agen perubahan yang sifatnya menyeluruh dan bottom up. Sebagai satu sarana tercapainya disrupsi pada birokrasi yang mampu merubah kualitas pelayanan publik dengan layanan yang mudah, cepat, transparan, dan terjangkau.

Imam Baihaqi Lukman / Analis Kebijakan di Lembaga Administrasi Negara RI

 

Skip to content