Menu Close

Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk Perumusan Kebijakan yang Lebih Baik

Jakarta – Penyusunan produk hukum sebagaimana yang telah diketahui saat ini lebih banyak menekankan pada aspek legal-drafting. Kesesuaian dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lebih dikedepankan dan kurang memperhatikan aspe-aspek lain secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, Regulatory Impact Analysis/ Regulatory Impact Assessment (RIA) menjadi instrumen penting untuk dapat dikuasai oleh para perancang kebijakan agar dapat mengkalkulasi biaya yang mungkin ditanggung serta manfaat yang dapat diperoleh dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan, Dra. Elly Fatimah, M.Si saat membuka Virtual Public Lecture (VPL) Seri 11: Regulatory Impact Analysis dan Pengalaman Praktiknya dalam Pemerintahan, Kamis (26/8).

“Melalui RIA, para perancang kebijakan publik dapat mengkalkulasi sejak awal berapa besar biaya yang ditanggung dan manfaatnya dalam implementasi kebijakan. Maka, dapat dievaluasi mana kebijakan yang produktif dan kontra-produktif bagi dunia usaha dan kepentingan publik. Jangan sampai, alih-alih membantu masyarakat, regulasi yang buruk malah bisa membebani masyarakat,” jelasnya.

Selain itu, Elly Fatimah juga menyampaikan harapannya bahwa dengan semakin banyaknya jumlah analis kebijakan (AK) akan mampu meningkatkan kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Hingga 10 Agustus 2021, pemangku Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) di seluruh Indonesia telah mencapai 3.987 orang.

“Kami berharap, analis kebijakan dapat belajar lebih banyak tentang RIA, sehingga dapat memahami dan mampu menerapkan di instansinya masing-masing. RIA diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mengembangkan kebijakan populis, berorietasi pada kepentingan publik, efektif, kredibel dan responsif,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dr. Ir. Idhan Fahmi, M.Ec  yang merupakan Wakil Dekan Akademik dan Kemahasiswaan, Sekolah Bisnis, IPB University selaku narasumber VPL Seri ke-11 kali ini mengemukakan bahwa penggunaan RIA  telah diimplementasikan di 98 negara dan telah menghasilkan berbagai kemajuan berupa kebijakan atau regulasi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Namun, penerapannya belum banyak dilaksanakan di Indonesia.

“Pada praktiknya, di Indonesia permasalahan data biasanya menjadi penghambat. Namun, pada prinsipnya se-tidak sempurna apapun pelaksanaan RIA di suatu negara, tentu itu sudah jauh lebih baik, daripada tidak menggunakan RIA sama sekali,” tambahnya.

Lebih lanjut, Idhan menekankan pentingnya mensinergikan aspek kebijakan, public interest, masyarakat dan dunia usaha. Menurutnya, filosofi kebijakan tidak lagi mempertentangkan forces of good dan forces of evil melainkan harus senantiasa bersinergi dan bekerjasama untuk merumuskan kebijakan yang membawa kebaikan bagi semua pihak.

“Meskipun peraturan itu selalu ada dampak positif dan negatifnya, bagaimana cara-cara yang bisa ditempuh untuk menyeimbangkannya. Suatu peraturan dapat diterima apabila pemenuhan kepentingan publik dengan dampak negatif yang mungkin timbul seimbang atau bahkan sedapat mungkin meminimalisir dampak negatifnya. Ini berlaku dalam berbagai konteks misalnya menggali pendapatan, memelihara ketertiban, melindungi kesehatan, lingkungan, masyarakat dan sebagainya,”

Virtual Public Lecture Seri Ke-11 ini merupakan hasil kerjasama Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan Tanoto Foundation. Sebanyak 1.531 peserta turut bergabung menyaksikan secara langsung melalui aplikasi Zoom maupun melalui live streaming kanal Youtube Lembaga Administrasi Negara. Peserta datang dari berbagai kalangan Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, Akademisi maupun organisasi lainnya di seluruh Indonesia. (humas)

Skip to content