Menu Close

Mengkaji Ulang Rencana Subsidi KRL Berbasis NIK

Ditayangkan di Detik.com pada tanggal 9 September 2024

Oleh Guruh Muamar Khadafi Analis Kebijakan Puslatbang PKASN Lembaga Administrasi Negara, Head of Public Policy Center IKA UNPAD

Jakarta – Wilayah Jabodetabek terus berhadapan dengan masalah transportasi yang kompleks. Kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan waktu tempuh yang panjang adalah keluhan sehari-hari warga perkotaan. Dalam upaya mengatasi masalah ini, pemerintah memberikan subsidi pada layanan transportasi umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL) dengan harapan dapat meringankan beban masyarakat dan mendorong penggunaan transportasi umum.

Namun, muncul isu mengenai rencana penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat untuk mendapatkan subsidi ini. Apakah ini langkah yang tepat, ataukah kita perlu melihat contoh dari negara lain yang telah sukses menerapkan kebijakan transportasi berbasis prinsip Pigouvian Tax?

Pigouvian Tax adalah jenis pajak yang dikenakan untuk mengurangi dampak eksternalitas negatif, seperti polusi atau kemacetan lalu lintas. Konsep ini diambil dari ekonom Inggris, Arthur Pigou, yang percaya bahwa pajak atau subsidi harus digunakan untuk mengoreksi ketidakseimbangan yang terjadi karena kegiatan ekonomi tertentu. Dalam konteks transportasi, pajak ini dikenakan pada pengguna kendaraan pribadi untuk mengurangi polusi dan kemacetan, sementara subsidi diberikan kepada pengguna transportasi umum untuk mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih ramah lingkungan.

Belajar dari Negara Lain

Indonesia telah lama memberikan subsidi pada layanan transportasi umum seperti KRL. Subsidi ini bertujuan untuk menjaga tarif tetap terjangkau bagi masyarakat, terutama di wilayah perkotaan yang padat. Namun, dengan rencana baru yang mengharuskan penggunaan NIK untuk mendapatkan subsidi, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa menjadi penghalang bagi sebagian masyarakat yang benar-benar membutuhkan subsidi, terutama bagi mereka yang tidak terdaftar atau mengalami kesulitan dalam proses pendaftaran NIK.

Di banyak negara maju, prinsip Pigouvian Tax telah diterapkan secara efektif untuk mendukung transportasi umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Beberapa contoh nyata bisa dilihat dari kebijakan transportasi di Singapura, London, Swedia, Jerman, dan Prancis.

Singapura adalah contoh negara yang berhasil mengintegrasikan Pigouvian Tax dengan subsidi transportasi umum. Dengan sistem Electronic Road Pricing (ERP), Singapura mengenakan biaya kepada kendaraan pribadi yang masuk ke area tertentu selama jam sibuk. Pendapatan dari ERP digunakan untuk mendanai transportasi umum yang sangat efisien dan dapat diakses oleh semua penduduk tanpa memerlukan verifikasi identitas. Kebijakan ini tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga mendorong warga untuk lebih memilih transportasi umum, yang merupakan salah satu yang paling modern dan efisien di dunia.

London menerapkan Congestion Charge, sebuah pajak yang dikenakan pada kendaraan yang memasuki zona tertentu pada jam sibuk. Kebijakan ini mirip dengan Pigouvian Tax karena bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan polusi di pusat kota. Uang yang terkumpul dari Congestion Charge digunakan untuk meningkatkan layanan transportasi umum, termasuk bus dan kereta bawah tanah. Seperti di Singapura, subsidi transportasi umum di London berlaku untuk semua pengguna tanpa memerlukan identifikasi khusus. Ini adalah contoh nyata bagaimana pajak dan subsidi bisa saling melengkapi untuk mencapai tujuan lingkungan dan sosial.

Swedia dikenal sebagai negara dengan salah satu pajak karbon tertinggi di dunia. Pajak ini dikenakan pada bahan bakar fosil, termasuk bensin dan diesel, yang berfungsi sebagai Pigouvian Tax untuk mengurangi emisi karbon. Pendapatan dari pajak karbon ini digunakan untuk mendanai infrastruktur transportasi umum yang luas dan disubsidi oleh pemerintah. Menariknya, subsidi transportasi umum di Swedia diberikan secara universal kepada semua warga negara, tanpa perlu identifikasi khusus, mendorong lebih banyak orang untuk meninggalkan kendaraan pribadi mereka dan beralih ke transportasi umum yang lebih ramah lingkungan.

Jerman juga memberikan subsidi besar untuk transportasi umum, yang dapat diakses oleh semua warga negara tanpa memerlukan verifikasi identitas. Di kota-kota besar seperti Berlin dan Munich, pemerintah kota juga menerapkan pajak kendaraan yang tinggi serta kebijakan untuk mengurangi penggunaan mobil di pusat kota. Pendapatan dari pajak ini digunakan untuk memperbaiki dan mensubsidi sistem transportasi umum. Kebijakan ini tidak hanya berhasil mengurangi kemacetan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga dengan transportasi umum yang efisien dan terjangkau.

Di Prancis, subsidi transportasi umum juga diberikan secara universal. Di kota Paris, misalnya, tarif transportasi umum disubsidi hingga 50% oleh pemerintah. Selain itu, Paris menerapkan Zona Emisi Rendah (ZFE) yang membatasi akses kendaraan dengan emisi tinggi di area tertentu, mirip dengan pendekatan Pigouvian untuk mengurangi polusi. Pendekatan ini berhasil mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan transportasi umum, yang pada gilirannya mengurangi polusi dan kemacetan di ibu kota.

Pendekatan yang Lebih Inklusif

Penggunaan NIK untuk subsidi KRL memunculkan beberapa masalah potensial. Pertama, ini bisa menjadi hambatan bagi masyarakat yang tidak terdaftar atau yang kesulitan mengakses proses pendaftaran NIK. Mereka yang bekerja di sektor informal, penduduk sementara, atau mereka yang kurang familiar dengan proses digitalisasi mungkin merasa terpinggirkan oleh kebijakan ini.

Kedua, verifikasi NIK memerlukan infrastruktur teknologi yang canggih dan integrasi data yang baik antarinstansi terkait. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menyebabkan masalah teknis dan administratif yang justru memperlambat akses subsidi bagi mereka yang membutuhkannya.

Ketiga, pendekatan ini bisa dianggap diskriminatif karena hanya memberikan subsidi kepada kelompok tertentu, padahal tujuan utama subsidi adalah untuk mendorong penggunaan transportasi umum oleh seluruh lapisan masyarakat.

Belajar dari negara-negara yang telah berhasil menerapkan prinsip Pigouvian Tax, Indonesia bisa mempertimbangkan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan sederhana. Subsidi transportasi umum yang diberikan kepada semua pengguna, tanpa memerlukan verifikasi NIK, akan lebih sesuai dengan tujuan untuk mendorong penggunaan transportasi umum dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.

Pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk menerapkan pajak pada penggunaan kendaraan pribadi di area tertentu atau pada jam-jam sibuk, seperti yang dilakukan di Singapura dan London. Pendapatan dari pajak ini dapat digunakan untuk mendanai subsidi transportasi umum yang lebih luas dan lebih merata.

Selain itu, Indonesia bisa mempertimbangkan untuk meningkatkan subsidi bahan bakar fosil dengan pajak karbon yang lebih tinggi, seperti di Swedia, dan menggunakan pendapatan ini untuk memperkuat infrastruktur transportasi umum.

Penggunaan NIK untuk subsidi KRL mungkin tampak sebagai langkah yang tepat untuk memastikan bantuan yang tepat sasaran. Namun, jika tujuannya mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan transportasi umum dan mengurangi kemacetan serta polusi, maka pendekatan yang lebih inklusif dan sederhana seperti yang diterapkan di negara-negara maju mungkin lebih efektif.

Dengan mengadopsi prinsip Pigouvian Tax dan memberikan subsidi transportasi umum kepada semua pengguna tanpa diskriminasi, Indonesia bisa mencapai tujuan yang lebih besar, yakni menciptakan lingkungan yang lebih bersih, lebih sehat, dan transportasi yang lebih efisien untuk semua warga negara.

Skip to content