Nilai Akuntabilitas : For Those Whom Might Questioned ?
Ridwan Kamil, walikota Bandung, atau yang akrab dipanggil Kang Emil, melontarkan pertanyaan di salah satu acara sosialisasi yang diadakan oleh Kedeputian Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan di awal Tahun 2015 “Kenapa nilai LAKIP Kota Bandung kecil? padahal Bandung terkenal sebagai Smart City yang memperoleh banyak pengakuan dan penghargaan baik nasional maupun internasional”. Pertanyaan yang juga kerap kali ditanyakan oleh Pimpinan Instansi baik pusat maupun daerah, termasuk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang juga akrab dipanggil Pakde, serta oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.
Pertanyaan yang kecil, namun menggelitik, dan berawal dari pertanyaan inilah kepedulian itu akhirnya muncul di benak para pimpinan instansi pemerintah untuk mengetahui lebih dalam mengenai akuntabilitas.
Ya, memang dalam implementasi akuntabilitas, kepedulian menjadi awalan dalam pelaksanaannya. Perubahan ke arah yang lebih baik tidak akan bisa dimulai tanpa adanya kepedulian dari tiap pimpinan instansi. Dengan kepedulian, memunculkan komitmen yang menggugah setiap pimpinan instansi untuk melakukan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakatnya.
Lalu apa itu nilai akuntabilitas? Bagaimana dengan nilai Laporan akuntabilitas kinerja?
Layaknya pepatah yang mengatakan “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, rasanya hal itu berlaku juga bagi akuntabilitas. Selama ini masih banyak yang menganggap bahwa evaluasi yang dilakukan oleh Kedeputian Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)hanyalah sebatas evaluasi terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja atau biasa disebutEvaluasi LAKIP.
Berdasarkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 12 Tahun 2016, yang merupakan updating dari Peraturan Menteri PAN RB sebelumnya Nomor 20 Tahun 2013 tentang Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, menyebutkan bahwa Evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian PANRB adalah evaluasi atas Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebenarnya merupakan adopsi dari penerapan Manajemen Kinerja (Performance Management) yang biasanya diterapkan di sektor swasta, namun karena Objeknya adalah Instansi Pemerintah maka dimodifikasi menjadi SAKIP. Namun pada akhirnya, tujuannya sama yaitu bagaimana agar Instansi bisa meningkatkan performa dan lebih berorientasi hasil (result-oriented). Siklusnya pun tidak jauh berbeda, mulai dari Perencanaan, Pengukuran, Pelaporan dan Monitoring, dari keempat siklus itu, LAKIP hanya salah satu bagian dari objek evaluasi yaitu di pelaporan kinerja.
Evaluasi Akuntabilitas Kinerja yang dilakukan, menghasilkan Nilai Akuntabilitas Kinerja tiap-tiap Instansi pemerintah, yang tertuang dalam Laporan Hasil Evaluasi. Nilai tersebut menggambarkan tingkat akuntabilitas kinerja di masing-masing instansi, yaitu mencerminkan sejauh mana kemampuan Instansi tersebut dapat mempertanggungjawabkan hasil (result/outcome) yang diperoleh atas penggunaan uang negara.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yang menyebutkan salah satu asas umum pengelolaan keuangan negara adalah akuntabilitas berorientasi pada hasil, yang bermakna “setiap program dan kegiatan dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan hasilnya”, hal inilah yang juga menjadi salah satu landasan Kementerian PANRB untuk menilai akuntabel atau tidaknya suatu instansi dan bukan hanya sekedar menilai LAKIP.
Nilai Akuntabilitas ≠ Dokumentasi
Kesalahan mendasar berikutnya adalah kebanyakan dari para pimpinan instansi hanya menganggap bahwa nilai akuntabilitas hanyalah sekedar kelemahan dalam pendokumentasian administrasi. Jika menilik dari penjelasan di paragraf sebelumnya, bahwa penerapan SAKIP adalah penerapan manajemen kinerja di Instansi Pemerintah, maka apa yang terlibat didalamnya, tidak lain adalah mulai dari komitmen dan keterlibatan pimpinan, membangun budaya kinerja di instansi masing-masing, hingga merubah sistem perencanaan, pengukuran, penganggaran, pelaporan dan monitoring.
Output awal/jangka pendek memang akan tampak pada perbaikan dokumen perencanaan, mulai dari perbaikan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Indikator Kinerja Utama, Rencana Kinerja Tahunan, Rencana Kerja, Perjanjian Kinerja, serta Laporan Kinerja. Tapi lebih mendalam perbaikan cenderung kepada perubahan pola pikir dan budaya kinerja. Bagaimana membangun suatu sistem manajemen kinerja yang terukur yang berorientasi pada hasil (result oriented government).
Kunci utama perbaikan sistem ini adalah di pimpinan, sebagai “manajer” dari instansi yang dia pimpin, komitmen dan keterlibatan menjadi sangat penting, karena nantinya pimpinan yang akan menentukan strategi apa yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan organisasi, bukan di level pelaksana atau staf.
Jika permasalahan hanya sekedar pada dokumentasi, maka bukanlah perkara sulit untuk memperbaiki atau meningkatkan nilai akuntabilitas, level manapun akan bisa memperbaiki dokumen, namun esensi yang tertuang didalam dokumenlah yang akan menentukan akuntabilitas suatu instansi. Butuh keterlibatan dan kepedulian seluruh pihak dalam implementasi manajemen kinerja, serta kerjasama semua lini, sebagaimana tertulis pada artikel Akuntabilitas Kinerja : Orkestrasi Membangun Pemerintahan Yang Berorientasi Pada Hasil oleh Muhammad Yusuf Ateh. Perbaikan nilai akuntabilitas bukan hanya sekedar menjadi tanggung jawab Biro/Bagian Organisasi, juga bukan hanya menjadi tanggung jawab Biro/Bagian Perencanaan/BAPPEDA maupun Inspektorat saja, melainkan seluruh unit kerja pada umumnya dan pimpinan instansi pada khususnya.
Kemudian bagaimana manfaat dari implementasi akuntabilitas kinerja?
Sebenarnya dalam implementasi akuntabilitas kinerja, dapat dirasakan efek domino dari kemanfaatannya.Dalam jangka pendek saja, perencanaan kinerja yang semakin terstruktur dan terukur, yang menjadi panduan bagi seluruh anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi, dan setiap individu akan mempunyai ukuran kinerja masing-masing, akan memberikan dampak yang strategis dalam menuju pencapaian target yang telah ditetapkan.Sedangkan untuk dampak jangka panjangnya, peningkatan akuntabilitas instansi pemerintah akan dapat membantu tercapainya 3 (tiga) sasaran reformasi birokrasi, yakni birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan efisien, serta peningkatan pada kualitas pelayanan publik.
Manfaat penerapan SAKIP ini pun akhirnya dirasakan oleh Walikota Bandung, dari yang awalnya mempertanyakan tentang Nilai LAKIP, sekarang Ridwan Kamil cukup bersenang hati dengan adanya penerapan SAKIP di lingkungan Kota Bandung, Ia mengatakan “Sekarang, dengan menerapkan SAKIP di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, setiap individu memiliki ukuran kinerja individu, pembayaran tunjangan kinerja tidak hanya sekedar berdasarkan absensi, melainkan pada ukuran kinerja masing-masing. Akan ada rewards and punishment atas setiap capaian kinerja. Dengan adanya SAKIP ini, saya juga dapat melihat dan meyakinkan apakah visi dan misi saya sebagai Walikota tertuang dalam RPJMD dan selaras dengan dukungan program-program yang ada di tiap-tiap SKPD”.
Harapannya, akan semakin banyak para pimpinan-pimpinan yang peduli untuk semakin mengenal, memaknai, dan memahami akuntabilitas. Sehingga dengan semakin memahami akuntabilitas, akan muncul keinginan dan komitmen para pimpinan untuk terus melakukan perbaikan, dan mengajak seluruh lini di organisasinya masing-masing untuk terus menjadi lebih baik.
Sumber: http://rbkunwas.menpan.go.id/artikel/artikel-rbkunwas/152-kupas-tuntas-akuntabilitas