Membangun sebuah konstruksi membutuhkan pondasi yang menjadi tumpuan beban bidang bangunan. Konstruksi merupakan sebuah objek bangun yang terdiri dari berbagai struktur sebelum menjadi bangunan utuh. Sementara pondasi yang menjadi struktur dasar konstruksi bangunan memiliki peran penting, karena sumber kekuatan sebuah bangunan terdapat pada pondasi tersebut. Untuk memperoleh keberhasilan dalam pelaksanaan konstruksi, perencanaan matang juga perlu diperhatikan secara terperinci seperti metode penentuan pembangunan, biaya, keselamatan kerja, dan lain sebagainya.
Jika diibaratkan sebuah negara, konstruksi bisa dianalogikan sebagai sistem pemerintahan dengan birokrasi sebagai pondasinya. Birokrasi memang sebuah kata yang tidak asing untuk didengar, namun sulit untuk didefinisikan secara harfiah. Birokrasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu bureau dan cracy yang bisa diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan struktur berbentuk piramida dengan maksud mengorganisasi secara teratur sesuatu melalui sebuah sistem guna mencapai tujuan tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan birokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Sementara Maximilian Weber, atau lebih dikenal dengan Max Weber, seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman, yang juga merupakan salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara, menerjemahkan birokrasi sebagai bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi dimaksudkan sebagai suatu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Selain itu, birokrasi juga dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak.
Sebagai pondasi dalam sistem pemerintahan, dalam birokrasi terdapat aparatur yang menjalankan roda pemerintahan. Namun birokrasi tidak bisa hanya dilihat dari segi aparatur yang menjadi abdi negara, melainkan harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah sistem yang sangat kompleks sebagai pendorong jalannya roda pemerintahan.
Melihat kondisi birokrasi di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, siapapun akan berpandangan pesimis bahkan sinis terhadap birokrasi. Hal ini terjadi mengingat kompleksitas masalah yang ada dalam birokrasi di Indonesia. Struktur organisasi yang terlalu gemuk dan tidak fit dengan fungsi, payung hukum yang kontradiktif dan ambigu, rekrutmen yang tidak objektif, maraknya praktik KKN, integritas aparatur yang masih bermaslah, pelayanan publik yang tidak berkualitas dan transparan, kurang inovatif serta sistem dan budaya kerja yang belum terbangun menjadi potret masalah birokrasi di Indonesia.
Sejak era reformasi, kondisi birokrasi di Indonesia memang masih belum bisa dikatakan berada pada posisi yang baik, mengingat mentalitas birokrat masih belum menunjukkan kepedulian terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan. Banyak birokrat yang menjadi arogan dan seolah apatis dengan menganggap bahwa rakyatlah yang membutuhkan seorang birokrat. Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga tidak bisa dipungkiri kerap terjadi di instansi pemerintah. Komitmen dan konsistensi pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, akuntabel, dan profesional pun terus dipertanyakan.
Namun seiring perkembangan zaman yang tidak bisa dihindari, peta birokrasi di Indonesia kini dipaksa untuk digeser agar berjalan sesuai dengan pakemnya. Pemerintah pun bergerak untuk merumuskan sebuah peraturan agar menjadi landasan pelaksanaan reformasi birokrasi dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025.
Seolah terbangun dari mimpi indah karena tamparan, para birokrat dipaksakan untuk mengubah pola kerja yang pada awalnya birokrasi berdasarkan peraturan (rule based bureaucracy) menuju performance based bureaucracy yang pada akhirnya akan mengerucut menjadi dynamics government. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan good and clean government yang telah ditetapkan melalui percepatan implementasi reformasi birokrasi. Dengan demikian, pemerintah melakukan penataan kembali terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah, di mana birokrasi akan menjadi tulang punggung perubahan.
Dalam lembaran Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia, disebutkan bahwa visi reformasi birokrasi adalah terwujudnya pemerintahan kelas dunia. Untuk mewujudkan visi tersebut, artinya pemerintah harus memiliki birokrasi yang profesional dan berintegritas dan mampu hadir lebih dekat kepada masyarakat dengan memberikan pelayanan prima.
Pemerintah pun telah menyusun strategi reformasi birokrasi nasional untuk mencapai tiga sasaran reformasi birokrasi, yaitu terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatknya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik. Strategi pemerintah tersebut dibagi menjadi dua kerangka, yaitu makro (sebagai kerangka regulasi nasional) dan mikro (sebagai program/kegiatan pada tingkat instansi).
Pada tingkat makro, tiga strategi telah ditetapkan, yaitu melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN), RUU Administrasi Pemerintahan, dan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi. Sembilan program tersebut adalah penataan struktur birokrasi, penataan jumlah, distribusi dan kualitas PNS, sistem seleksi dan promosi secara terbuka, profesionalisasi PNS, pengembangan sistem elektronik pemerintah (E-Government), peningkatan pelayanan publik, peningkatan transparansi dan akuntabilitas aparatur, peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, dan efisiensi belanja pegawai.
Sementara di tingkat mikro, pemerintah telah menetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Road Map Reformasi Birokrasi, dan pedoman pelaksanaan lainnya yang menyasar delapan area perubahan melingkupi organisasi, tatalaksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan budaya kinerja.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla nampaknya menyadari betul bahwa reformasi birokrasi di Indonesia berjalan sangat lambat akibat pola pikir dan perilaku birokrat yang belum berkomitmen untuk berubah. Oleh karenanya, tepat jika Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan semangat perubahan melalui “Revolusi Mental”.
Revolusi mental memang dirasa perlu dilakukan untuk mengubah mindset dan culture set aparatur yang selama ini seolah berperilaku layaknya priyayi. Revolusi mental menekankan tiga aspek penting yang harus ditanamkan, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Ketiga hal tersebut yang kemudian harus diaplikasikan oleh birokrat dalam rangka percepatan reformasi birokrasi.
Kemudian bagaimana menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan program percepatan reformasi birokrasi hingga saat ini? Ada tiga indikator utama yang bisa memberikan penilaian terhadap tingkat keberhasilan percepatan reformasi birokrasi, yaitu Indeks Persepsi Korupsi, Peringkat Kemudahan Berusaha (ease of doing business/eodb) dan jumlah instansi pemerintah yang memiliki akuntabilitas tinggi.
Berdasarkan survey Lembaga Tranparency International (TI), indeks persepsi korupsi di Indonesia tahun 2016 mengalami perbaikan. Indoensia menempati posisi 88 dari 168 negara, di mana pada tahun sebelumnya, indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat 107.
Untuk peringkat kemudahan berusaha, Bank Dunia juga telah merilis bahwa Indonesia mengalami perbaikan posisi jika dibandingkan periode sebelumnya, di mana tahun 2016 Indonesia menempati urutan 109 dari sebelumnya peringkat 120.
Begitu pula dengan akuntabilitas instansi pemerintah juga terus mengalami perbaikan. Hal tersebut tercermin dari banyaknya komitmen yang muncul diberikan pimpinan instansi, baik pusat maupun daerah. Dengan banyaknya komitmen tersebut, mengindikasikan besarnya kepedulian pimpinan setiap instansi pemerintah untuk melakukan perubahan dalam rangka memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Sadar atau tidak, pergeseran pandangan terhadap birokrasi yang korup mulai terlihat. Perubahan yang terjadi dalam birokrasi karena tuntutan zaman, telah berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan saat ini. Hal tersebut terlihat dari berbagai survey yang dilakukan oleh lebaga-lembaga survey, seperti menurunnya indeks persepsi korupsi dan membaiknya peringkat kemudahan berusaha.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin visi reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia perlahan akan tercapai. Optimisme tersebut nampaknya memang harus dijaga seiring dengan berbagai perbaikan yang telah diupayakan secara simultan oleh pemerintah demi terwujudnya good and clean government.