Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 melalui gerakan reformasi birokrasi ternyata tidak melulu oligarki di tanah air musnah, pada kenyataannya kancah politik indonesia masih dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok elit tertentu yang berupaya melanggengkan kepentingannya. Oligarki sendiri merupakan sistem yang berpusat pada relasi kekuasaan, umumnya diartikan sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh kelompok tertentu atau diidentikan dengan para pengusaha guna mengamankan otoritas dan sumber daya secara kolektif dan eksklusif. Hal ini dijelaskan oleh Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta, Prof. Nurliah Nurdin saat memberikan sambutan dalam acara Bedah Buku berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru karya Prof. Jimly Assidiqie yang diselenggarakan secara blended di Gedung serbaguna Politeknik STIA LAN Jakarta, Rabu (25/10).
Ia menambahkan, buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh kalangan akademisi yang kritis akan kondisi bangsa saat ini, terutama ditahun mendatang kita akan dihadapkan pada kompetisi politik pada pemilihan umum, maka buku ini dapat memberikan masukan bagi pembaca untuk dapat memilih kandidat yang dianggap tepat.
Selain Prof. Nurliah Nurdin, dalam bedah buku ini juga mengundang pembahas Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Chusnul Mar’iyah, Ph.D, yang menyampaikan, buku ini berisikan teoritical perspective serta contohnya diberbagai negara, terkait dengan totalitarian baru ini ditegaskan bahwa ketika pengusaha bekerjasama dengan pengusaha maka dampaknya akan merampas kepentingan-kepentingan masyarakat dalam melancarkan usahanya di sisi lain pemerintah yang berkuasa membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.
“Di indonesia sendiri kita melihat dewasa ini demokrasi membuat para pemodal atau pemilik kapital turut serta dalam meramaikan kontestasi politik bahkan tidak sedikit terjun langsung dalam struktur partai politik dan menyokong dana kampanye untuk meloloskan calon yang diusung, inilah totalitarianisme gaya baru” ungkapnya
Sejalan dengan hal tersebut penulis Buku, Jimly Assidiqie menyampaikan Praktik-praktik macam ini nampaknya menjadi lumrah dan tidak terhindarkan dalam ajang pemilu di era reformasi. Masalahnya, praktik ini bukan berarti tidak punya efek samping. Campur-baur antara pebisnis dan elite parpol berpotensi menggerus independensi pasangan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Tergerusnya independensi Capres dan Cawapres ini ditengarai oleh kebutuhan adanya sokongan dana kampanye oleh para pemilik modal dan pengusaha sebagai investasi sehingga jika kelak memenangkan kontestasi politik tersebut akan timbul adanya timbal balik dalam bentuk kebijakan atau lainnya yang dapat dikontrol oleh kaum oligarki tersebut” jelasnya.
Maka solusinya dijelaskan dalam buku ini antara lain kita perlu membangun kebijakan yang tegas, larangan rangkap jabatan dan larangan konflik kepentingan antara individu dengan institusi jabatan, antara state dan civil society, perlu diatur semua agar tidak terjadi Totalitarianisme model baru ini, tutupnya.