Ditayangkan di Media insight.kontan.co.id pada tanggal 18 Juli 2023
Salah satu tujuan kemerdekaan dan hadirnya negara adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bagi masyarakat setidaknya meliputi 4 hal dasar yakni: Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, dan Politik. Khusus sektor kesehatan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara kepada rakyatnya agar menjamin kualitas hidup masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator utama penilaian Indeks Pembangunan Manusia (human development index) yang dikenalkan oleh UNDP melalui penghitungan usia harapan hidup.
Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase usia harapan hidup secara Nasional dalam sewindu terakhir sejak 2016 banyak mengalami penurunan. Disamping itu, masih berdasarkan data BPS, setidaknya ada 13,77 % desa dari sekitar 81.000 desa di Indonesia yang mengalami gizi buruk. Fokus pemerintah dalam pemberantasan stunting juga masih menjadi Pekerjaan Rumah yang belum tertuntaskan hingga saat ini. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan Kemenkes 2022, angka stunting Nasional masih di posisi 21,6 %. Masih diiperlukan penurunan angka stunting 3,8 % per tahun untuk mencapai target 14 % pada tahun 2024 sesuai dokumen RPJMN 2020-2024. Angka tersebut pun belum diakumulasi dengan angka kekurangan gizi dewasa.
Berdasarkan data Bank Dunia (World Bank) yang dirilis tahun 2023 ini. Anggaran Kesehatan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara – negara middle income lainnya. Sejak 2011-2020, anggaran kesehatan negara kita berada di kisaran 2,98 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dari negara – negara tetangga seperti Malaysia 3,70 %, Singapura 4,15 %, Thailand 3,80 %, dan Filipina 4,12 %. Bahkan jauh di bawah negara – negara berpendapatan menengah (middle income) lain yang rata – rata berada di kisaran 5,22 % dari PDB. Bila dibandingkan dengan rerata anggota OECD dan negara – negara maju (high income) yang berada di kisaran 12,26 – 12,27 %, negara kita semakin jauh tertinggal.
Di tengah kondisi yang demikian serta perhatian terhadap kesehatan masyarakat yang masih belum merata di seluruh pelosok nusantara, Pemerintah dan DPR menghapus mandatory spending kesehatan dalam UU Kesehatan yang baru saja disahkan DPR menggantikan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 171 UU Nomor 36/2009 mengamanahkan alokasi sebesar 5 % dari APBN di luar gaji dan 10 % dari APBD di luar gaji. Hal ini mutlak dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah sebagai mandatory spending kesehatan yang ditujukan bagi pelayanan kesehatan utamanya kelompok rentan seperti : penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Mandatory spending merupakan pengeluaran negara yang wajib dialokasikan pada proporsi tertentu sebagai amanat undang-undang.
Pemerintah memiliki alasan melakukan penghapusan mandatory spending kesehatan ini, antara lain: sempitnya ruang fiskal dan fleksibilitas program, masih adanya korupsi & misalokasi anggaran kesehatan, dan perlunya efisiensi anggaran karena telah adanya jaminan kesehatan nasional (JKN). Pemerintah juga akan menggunakan prinsip money follow program dalam penganggaran kesehatan, sehingga diasumsikan pemerintah dan pemda akan mengalokasikan anggaran yang mencukupi untuk kesehatan masyarakat.
Langkah Kedepan
Bak diagnosis yang salah pengobatan, kebijakan tersebut bisa membawa pada permasalahan dunia kesehatan di Indonesia semakin kronis. Melalui kebijakan money follow program penganggaran kesehatan akan sulit memastikan alokasi anggaran kesehatan dapat menjadi prioritas, utamanya di pemerintah daerah. Kapasitas fiskal yang rendah membatasi pilihan daerah untuk menjalankan program kesehatan, risiko untuk mengalihkan anggaran ke sektor lainnya cenderung tinggi. Money follow program akan cenderung bias untuk menggantikan mandatory spending di bidang kesehatan. Persoalan misalokasi dan moral hazard (korupsi) tetap akan muncul dalam proses penganggaran, penghapusan mandatory spending tidak akan mengatasi persoalan ini. Selain itu, penghapusan mandatory spending amat sangat riskan menyingkirkan alokasi anggaran kesehatan dalam prioritas penganggaran di pusat maupun daerah mengingat kesehatan masyarakat merupakan suatu hal yang tak berwujud (intangible) berbeda dengan program infrastruktur atau bantuan sosial.
Upaya perbaikan sektor kesehatan melalui kebijakan kesehatan dengan UU Kesehatan yang baru hendaknya dilakukan secara komprehensif antara lain : Pertama, Mereformasi sistem kesehatan dari hulu ke hilir (mencakup pendidikan tenaga kesehatan, upaya preventif, dan pelayanan kesehatan). Kedua, UU Kesehatan harus mampu meningkatkan jumlah dan persebaran tenaga kesehatan yang berkualitas secara drastis (persebaran tenaga kesehatan di seluruh wilayah nusantara harus menjadi fokus pemerintah, agar tidak ada lagi wilayah di Indonesia yang blank-spot pelayanan kesehatan). Ketiga, UU Kesehatan semestinya harus memastikan mandatory spending yang berkualitas dan tepat guna untuk fungsi kesehatan (pasca pandemi covid-19 banyak negara – negara maju meningkatkan alokasi mandatory spending kesehatan sekitar 10 – 25 %). Keempat, UU Kesehatan harus memastikan dukungan yang konkrit terhadap riset dan pengembangan teknologi di sektor alat farmasi dan kesehatan (pandemi covid-19 mengajarkan betapa pentingnya kesehatan, utamanya pengembangan riset vaksin, pengujian alat kesehatan dan pengembangan teknologi kesehatan lainnya). Kelima, UU Kesehatan harus memastikan bahwa pemerintah yang memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh terkait berbagai kebijakan di sektor kesehatan.
Krisis covid-19 menjadikan berkah tersembunyi (blessing in disguise) terhadap cara pandang kita untuk lebih perhatian terhadap kesehatan. Perubahan kebijakan sektor kesehatan di Indonesia melalui UU Kesehatan yang baru harus menjadi momentum emas (golden opportunity) perubahan fundamental sektor kesehatan agar dapat menjamin kualitas hidup masyarakat Indonesia yang berdaya saing menghadapi bonus demografi 2030 dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.