Menu Close

Gaya Hidup Konsumtif Picu Korupsi

Gerakan memberantas korupsi gencar dilakukan, baik secara struktural maupun kultural dalam bentuk gerakan moral. Namun, lagi-lagi praktik korupsi atau maling uang rakyat masih terjadi.

KPK menangkap Wali Kota Bandung, Yana Mulyana terkait suap Program Smart City. Memprihatinkan, ternyata aksi yang dilakukan KPK dan gerakan antikorupsi selama ini, sepertinya tidak membuat jera para pemburu uang rakyat.

Tidak salah jika banyak pihak yang menilai benar bahwa aksioma kuno tentang relasi kekuasaan dengan uang memang tak lekang oleh waktu. Jabatan dan kekuasaan selalu saja digunakan sebagai media untuk meraup kekayaan sebanyak mungkin demi mengangkat derajat status sosial-ekonomi pelakunya di mata masyarakat.

Apa yang sedang terjadi dengan mentalitas pejabat publik kita? Mengapa pejabat publik tidak pernah puas dengan kekayaannya dan melakukan korupsi untuk menunjukkan status sosialnya? Apa yang salah dengan tindakan antikorupsi di Republik ini? Padahal, gerakan melawan korupsi begitu gencar dilakukan? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang diulas dalam opini ini.

Perilaku Konsumtif

Mendiskusikan mentalitas pejabat publik melakukan korupsi memang terasa miris. Pasalnya, mereka merupakan orang-orang terpilih dan dipercaya rakyat.

Mereka biasanya berpendidikan tinggi, paham soal Undang-Undang Antikorupsi, memiliki harta yang cukup, dan kerap menunjukkan sebagai sosok yang taat menjalankan ritual agama. Namun, mengapa beberapa di antara mereka masih juga melakukan tindakan korupsi?

Apakah persoalan karakter mentalitas pejabat publik yang sudah terbentuk dengan prinsip “agar eksis apapun boleh?”

Jika demikian, maka tindakan para pejabat tentunya lebih didorong dan distimulasi oleh nafsu bukan rasionalitas yang sehat dan bisikan hati nurani.

Kesenangan dan kepuasan emosional-material yang merusak norma sosial dan agama. Kata Hidayat (2009), orang yang demikian itu dapat dikategorikan sebagai individu yang tidak mampu mengendalikan jiwanya sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata.

Pribadi yang demikian sesungguhnya memiliki kehidupan yang terjebak pada level hewani (animality), gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pedoman dalam kehidupannya.

Pribadi yang demikian itu, meski lahiriahnya kaya, tetapi sesungguhnya jiwanya miskin. Meski pendidikan dan jabatannya tinggi, orientasi hidupnya rendah. Jadi, orang yang senang melakukan korupsi jiwanya sakit.

Mentalitas oknum pejabat publik kita, relatif cenderung menunjukkan eksistensi diri dengan bertindak dan menempatkan harga dirinya dengan apa yang dimilikinya.

Hal yang sangat berbeda dengan apa yang digagas Rene Descartes (1644) mengenai prinsip “Cogito Ergo Sum”, bahwa keberadaan individu manusia ditentukan oleh apa yang dipikirkan dan diperbuatkan untuk kebaikan banyak orang. Itu bermakna bahwa kegiatan berpikir diaminkan menjadi penanda eksistensi manusia. I think, therefore I exist. Jadi, terasa memalukan apabila memperhatikan fenomena yang ada, di mana sikap dan perilaku pejabat publik kita menunjukkan orientasi hidup I consume therefore I exist.

Pejabat publik kita seringkali menempatkan harga dirinya pada apa yang dimiliki, bukan apa yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat. Padahal, tuntutan kebudayaan masyarakat modern dan beradab dewasa ini adalah semangat yang gandrung terhadap kemajuan dengan karakter mentalitas individu yang menghargai nilai-nilai profesionalisme, pelayanan publik, kompetisi, inovasi, kemandirian, rasionalisme serta bersikap kritis dan etis.

Nilai-nilai tersebut diwujudkan dengan keringat atau kerja keras demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, gerakan melawan tindakan korupsi para pejabat ke depan harus ditangani dengan strategi yang tepat.

Pendidikan Antikorupsi

Melawan korupsi yang berakar dari sebab kultural (nilai) dapat dilakukan dengan upaya perbaikan mentalitas melalui pendidikan antikorupsi.

Cara yang paling tepat untuk melawan korupsi sebagai budaya, kata Paulo Freud (1974), dengan cara budaya pula, yakni melalui pendidikan. Tepatnya pendidikan anti korupsi.

Individu manusia yang dianugerahi jiwa insani dengan daya refleksi, kreativitas dan kesadaran moral akan dapat diperbaiki mentalitasnya jika dilakukan dengan proses pendidikan penanaman nilai-nilai moral.

Harapannya, agar individu manusia mampu membedakan dan membuat kalkulasi untung rugi antara yang baik dan buruk, benar dan salah, agar bisa mengendalikan mentalitasnya yang dikendalikan oleh nafsu atau jiwa hewaninya.

Strategi tersebut ditempuh karena tindakan melawan korupsi dengan pendekatan represif melalui perangkat hukum terlihat belum mampu menuntaskan banyak kasus korupsi. Bahkan, upaya hukum melahirkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat ketika para koruptor tidak diberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya serta terjadinya mafia di peradilan.

Boleh jadi, tindakan jangka pendek dengan penegakkan hukum yang adil dan memberikan hukuman yang setimpal, dapat memberikan rasa takut dan efek jera bagi para koruptor.

Akan tetapi, untuk menghilangkan tindakan korupsi yang telah membudaya, pendidikan antikorupsi dianggap tepat. Apalagi ketika gagapnya moral, nilai dan etika individu ditemukan sebagai akar dari perilaku korupsi para pejabat.

Urgensi pendidikan antikorupsi haruslah bersifat transformatif, sedini mungkin, dan keluar dari mainstream pendidikan konvensional yang mengedepankan transfer pengetahuan. (Hendrikus Triwibawanto G/Dosen Politeknik STIA LAN Bandung)***

Skip to content