LEMBAGA pelatihan memiliki peran strategis dalam membangun SDM ASN yang kompeten. Sehingga, menjadi penting untuk memastikan lembaga pelatihan ASN memiliki kualitas yang mumpuni dan kompeten.
Namun, saat ini kualitas lembaga pelatihan di Indonesia masih perlu terus ditingkatkan, karena berdasarkan data hasil akreditasi lembaga pelatihan yang dilakukan oleh LAN, masih banyak lembaga pelatihan yang belum terakreditasi.
Pada tahun 2019, dari 138 lembaga penyelenggara pelatihan dasar (latsar) di tingkat kementerian/LPNK; Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang sudah terakreditasi baru sebanyak 85 (61.59%).
Kemudian, dari 132 lembaga penyelenggara pelatihan manajerial di tingkat kementerian/LPNK; Provinsi dan Kabupaten/Kota, baru sebanyak 85 (64,39%) yang sudah terakreditasi.
Di sisi lain, Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga yang membina urusan pelatihan ASN sudah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam membangun dan mengatur kompetensi teknis bidang pelatihan ASN, salah satunya dengan menetapkan kebijakan tentang kamus kompetensi teknis bidang pelatihan ASN.
Namun pada praktiknya kebijakan tersebut belum bisa diimplementasikan dengan optimal karena belum adanya kebijakan operasionalisasinya.
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat gap kebijakan yaitu belum adanya kebijakan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN, sehingga belum ada pedoman baku bagi lembaga pelatihan ASN untuk mengukur kompetensi teknis pegawai mereka.
Dampaknya adalah penguasaan pegawai terkait kompetensi teknis bidang pelatihan belum dapat terpetakan dengan baik dan tidak terpetakan pengembangan kompetensi teknis apa yang diperlukan oleh pegawai.
Dengan demikian hal ini tentunya akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga pelatihan. Lalu, seperti apa alternatif kebijakan yang bisa diambil untuk pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN?
Alternatif Kebijakan
Untuk menjawab gap kebijakan tersebut, terdapat beberapa alternatif kebijakan yang bisa diambil.
Alternatif pertama adalah menyusun mekanisme pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN. Kelebihan alternatif ini adalah dalam proses perumusan mekanisme pengukuran, LAN bisa dengan lebih fleksibel dengan merumuskan mekanisme pengukuran sesuai dengan kriteria yang dianggap ideal dan bisa dioperasionalkan.
Lalu, dalam proses pengesahan mekanisme tersebut hanya melibatkan koordinasi di internal LAN, tidak membutuhkan koordinasi yang kompleks misalnya harus melibatkan pihak di luar LAN.
Sedangkan kelemahan alternatif ini adalah jika merumuskan mekanisme tersendiri (khusus) maka akan merumuskan dari nol, mulai dari unsur-unsurnya, hingga mengembangkan desain mekanismenya.
Alternatif kedua adalah menambahkan skema sertifikasi kompetensi bidang pelatihan ASN pada LSP LAN.
Kelebihan alternatif ini adalah proses perumusan mekanisme sertifikasi cenderung tidak terlalu rumit. LAN hanya tinggal mengacu kepada panduan yang dikeluarkan oleh BNSP, tidak perlu merumuskan dari nol.
Jika merumuskan mekanisme tersendiri (khusus) tentunya dimulai dari nol, dan membutuhkan studi dokumen atau bahkan studi lapangan terlebih dahulu.
Sedangkan kelemahan alternatif ini adalah proses pengesahannya akan melibatkan pihak di luar LAN, sehingga cenderung akan membutuhkan koordinasi yang lebih kompleks.
Untuk menambahkan skema sertifikasi SDM pelatihan ke LSP LAN, maka perlu dirumuskan sesuai dengan pedoman BNSP dan proses pengesahannya harus melalui pengusulan, verifikasi, hingga penetapan oleh BNSP.
Namun alternatif yang direkomendasikan adalah alternatif pertama, yaitu merumuskan kebijakan khusus tentang mekanisme pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN.
Rekomendasi Model Mekanisme Pengukuran
Mekanisme pengukuran mekanisme pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN yang direkomendasikan terdiri dari unsur Komposisi Tim Pengukuran, Asesor Kompetensi Teknis, Tempat Pengukuran Kompetensi Teknis, Metode Pengukuran Kompetensi Teknis, Peserta Pengukuran Kompetensi Teknis, Tahapan Pengukuran Kompetensi Teknis, Pola Pengusulan Pengukuran Kompetensi Teknis, Keluaran/hasil pengukuran kompetensi teknis.
Semua unsur tersebut diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan proses pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN yang efektif, efisien dan operasional.
Adapun model pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: Tim pengukuran komposisi teknis bidang pelatihan ASN sebaiknya terdiri dari: (a) Komite; (b) Tim Pelaksana.
Tim pelaksana tersebut terdiri dari: Ketua, Asesor, dan Tim Sekretariat. Sementara itu, komposisi asesor kompetensi teknisnya sebaiknya terdiri dari: (1) Jabatan Fungsional Asesor; dan/atau (2) Pakar Praktisi.
Metode yang digunakan adalah metode pengukuran yang menggunakan alat ukur (tools) yang terdiri dari: bukti kerja (portofolio), wawancara, ditambah dengan paling kurang 2 (dua) jenis alat ukur lainnya yang terdiri dari: 1 (satu) alat ukur jenis non simulasi lainnya; dan 1 (satu) alat ukur jenis simulasi.
Pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN dilakukan secara tersebar di instansi pemerintah yang bertugas dalam pengukuran kompetensi SDM, namun dilakukan penjaminan mutu dalam bentuk akreditasi lembaga pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN.
Tahapan pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN adalah perencanaan, pelaksanaan, pelaporan (disertai pemberian feedback), monitoring & evaluasi, dan surveilan.
Dalam proses pengukuran kompetensi teknis bidang pelatihan ASN, pihak yang mengusulkan dilaksanakannya pengukuran adalah satuan/unit kerja.
Unit kerja mengidentifikasi dan mendata pegawainya yang direncanakan akan mengikuti pengukuran kompetensi teknis untuk tujuan pemetaan kompetensi, lalu mengusulkannya kepada PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) atau unit kerja yang mengelola SDM di instansi mereka.
Keluaran (output) dari kegiatan pengukuran kompetensi teknis adalah laporan hasil pengukuran yang memuat data capain kompetensi, feedback, serta saran bentuk pengembangan kompetensi teknis bagi asesi.
Dengan diaturnya kebijakan tentang bagaimana mengukur kompetensi teknis di lembaga pelatihan, diharapkan dapat memetakan tingkat penguasaan kompetensi teknis oleh pegawai lembaga pelatihan.
Dari hasil pengukuran dapat dipetakan mana pegawai yang sudah memenuhi kompetensi yang disyaratkan, lalu bisa saja diberikan sertifikat kompetensi, kemudian juga dapat diketahui pegawai-pegawai yang belum memenuhi kompetensi yang dibutuhkan, sehingga dapat direncanakan pengembangan kompetensinya.
Pada akhirnya dengan membangun lembaga pelatihan yang kompeten diharapkan akan mempengaruhi pelaksanaan pengembangan kompetensi terhadap ASN, lebih lanjut diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan pemerintahan berkelas dunia yang dicita-citakan. ***
Masrully, Tim Analisis Kebijakan Puslatbang PKASN LAN.