KEBIJAKAN dalam dunia pendidikan tengah dihadapkan pada perubahan kebijakan kurikulum. Ironisnya belum maksimalnya kebijakan pendidikan sering kali hanya karena adanya pergantian pimpinan. Ganti pemimpin ganti pula kebijakan pendidikan.
Istilah yang beredar di kalangan masyarakat pada saat adanya pergantian pimpinan “Ganti Presiden, Ganti Menteri, Ganti Kebijakan” menjadi benar adanya. Seperti hadirnya kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Merdeka Belajar bertujuan mengembalikan otoritas pengelolaan pendidikan kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pendidikan. Namun mereka harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip kebijakan Merdeka Belajar yang ditetapkan pemerintah pusat untuk mencapai tujuan nasional pendidikan.
Filosofi lahirnya kebijakan Merdeka Belajar (sejak 2020) diharapkan menjadi solusi terhadap kondisi belum meratanya kualitas pendidikan Indonesia. Termasuk capaian hasil Survei PISA (2018) bahwa Indonesia menduduki posisi 10 terbawah dari 79 negara yang berpartisipasi serta kerangka pembelajaran agar dapat maju dan sejahtera pada 2030 (OECD Learning Compass 2030). Tidak hanya itu, bahkan akibat Pandemi Covid-19, pendidikan Indonesia juga mengalami learning loss yang cukup besar.
Kebijakan Merdeka Belajar ini pun telah diusung pada Presidensi G20 “Recover Together, Recover Stronger” (Sherpa Track) yang salah satu agenda pembahasannya mengusung bidang Pendidikan. Empat agenda prioritas tersebut dikemas ke dalam Kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan ini pun dilengkapi dengan episode-episode Merdeka Belajar (sudah 21 Episode -Juli 2022-) yang masih terus dilakukan penyempurnaan agar menjadi lebih baik, lebih merata, dan tidak konservatif.
Sayangnya sikap positif Mendikbudristek terhadap kebijakan Merdeka Belajar ini tidak dibarengi dengan persiapan dan kecepatan di lapangan. Akibatnya kebijakan ini lebih terkesan matang dikonsep tetapi belum siap diterapkan.
Seperti yang terjadi pada SMPN 3 Cepogo, Boyolali. Mereka baru mendapatkan sosialisasi kebijakan Merdeka Belajar (secara umum) pada awal April 2022 melalui zoom meeting yang ditujukan kepada semua sekolah se-kabupaten, termasuk guru-guru yang hanya membahas tentang kurikulum darurat (penyederhanaan kurikulum 2013). Sedangkan episode Merdeka Belajar lainnya (terutama mengenai sistem aplikasi dan kurikulum) secara detail harus browsing melalui internet secara mandiri. (FGD dengan Kepala Sekolah SMPN 3 Cepogo, Boyolali April 2022).
Permasalahan di Lapangan
Penerapan kebijakan Merdeka Belajar dalam implementasinya dilapangan memang masih banyak ditemukan permasalahan, khsususnya dalam penyederhanaan kurikulum. Sebaiknya, Kemendikbud harus memberikan petunjuk yang jelas untuk semua sekolah dalam menentukan kurikulum.
Jangan sampai anak didik tidak terpenuhi materi substansi penting sebagai bekal untuk naik ke jenjang selanjutnya, hanya karena ada pilihan (kurikulum 2013 secara penuh, kurikulum darurat, kurikulum merdeka). Implementasi kebijakan Merdeka Belajar ini, mungkin dapat dikatakan belumlah siap secara keseluruhan. Terutama mengenai Episode Merdeka Belajar yang hingga kini masih terus dilakukan penyempurnaan.
Hal ini karena masih banyaknya daerah yang sarana dan prasarana belum memadai. Seperti sinyal internet masih ada yang belum memiliki koneksi baik (terkendala kondisi geografis) hingga belum siapnya SDM untuk mengoperasionalisasikan apikasi yang ada. Akibatnya sekolah tidak mendapat sosialisasi yang baik terkait tahapan yang harus dilakukan dalam Merdeka Belajar.
Bahkan terkait dengan sekolah penggerak, guru penggerak, dan penggunaan aplikasi (salah satunya pencairan dana BOS) belum maksimal. Sosialisasi guru penggerak dan sekolah penggerak baru sebatas cara mendaftarkan diri.
Terlebih adanya dua tahapan yang harus dilalui dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk lolos. Jika lolos berarti harus menjadi sekolah penggerak minimal selama 4 tahun.
Pemetaan Peran Stakeholder
Pembagian peran dan kontribusi stakeholders dalam kebijakan Merdeka Belajar tampak belum terpetakan (stakeholders mapping) dengan baik. Padahal anggaran pendidikan (20% dari APBN yakni Rp542,83 triliun) selalu mengalami kenaikan dalam setiap tahun.
Anggaran tersebut tersebar di beberapa instansi. Kemendikbudristek 13,4%, Kemenag (10,3%), kementerian/lembaga lainnya (4,4%), transfer ke daerah dan dana desa (53,6%), anggaran pendidikan BA BUN (5,5%), dan pengeluaran pembiayaan 12,8% (materi FGD Kemendikbudristek, Maret 2022).
Pemetaan stakeholder ini menjadi penting terutama pembagian peran dan kontribusi dari setiap instansi yang mendapatkan anggaran fungsi pendidikan tersebut. Dengan demikian Kemendikbudristek tidak seperti bekerja sendiri dalam menjalankan fungsi pendidikan di Indonesia. Peran instansi lain jelas sangat diperlukan dalam mewujudkan Merdeka Belajar.
Strategi Penguatan Untuk meminimalisir permasalahan kebijakan Merdeka Belajar sebaiknya sosialisasi harus dilakukan sejak 2020 lalu. Terutama sejak dituangkan ke dalam Renstra Kemendikbud 2020-2024 yang telah disesuaikan dengan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035.
Kebijakan Merdeka Belajar yang didukung dengan episode-episode Merdeka Belajar, memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara cepat. Terlebih ke depannya cenderung akan banyak menggunakan aplikasi-aplikasi yang membutuhkan jaringan sinyal/internet, sedangkan di beberapa daerah masih banyak terkendala.
Seperti jaringan internet yang kurang baik (terutama di daerah 3T). Sebaiknya Kemendikbudristek harus membuka kerjasama dengan Kemenkominfo untuk memperluas jaringan internet di daerah-daerah. Selain itu, kesiapan SDM (terutama di daerah) untuk mengoperasionalisasikan sistem aplikasi (salah satunya aplikasi pencairan dana BOS) harus didukung pelatihan dari Kemendikbudristek.
Ke depan dalam proses operasionalisasinya akan menjadi lebih masif dan tidak sepotong-sepotong oleh user (pihak sekolah). Bahkan, untuk sekolah penggerak dan guru penggerak pun, untuk mencapai pendidikan berkualitas dalam Merdeka Belajar juga harus dipercepat baik dalam sosialisasi maupun prosesnya (episode kebijakan Merdeka Belajar memiliki keterkaitan satu dengan lainnya).
Tidak hanya itu, dengan adanya pemetaan pembagian peran dan kontribusi insansi yang memiliki anggaran fungsi pendidikan juga memerlukan adanya keterlibatan stakeholder lain. Seperti, Kantor Staf Presiden yang dapat berperan untuk mengawasi kualitas substansi materi pendidikan. Terkait mutu pendidikan, juga dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum. Sedangkan untuk peranan pembangunan dan penyediaan sarana prasarana dan infrastruktur, dapat bekerjasama dengan pihak swasta dan pemerintah daerah secara intens.
Untuk peranan perlindungan bagi peserta didik, maka kerjasama juga dapat melibatkan peran pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, serta unsur dari masyarakat sendiri.
Sedangkan peranan kesehatan, jelas harus ada keterlibatan Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, serta keterlibatan dari masyarakat. Hal ini menjadi sangat perlu, terutama untuk mendukung posisi kebijakan Merdeka Belajar dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 demi mewujudkan pendidikan berkualitas.