Menu Close

Urgensi dan Strategi Penerapan Work from Anywhere (WFA) bagi ASN

Antonius Galih Prasetyo, Analis Kebijakan pada Lembaga Administrasi Negara. Berfokus pada isu-isu administrasi publik, transformasi digital, dan ketenagakerjaan kontemporer.

Pemerintah saat ini sedang mengkaji penerapan sistem kerja Work from Anywhere (WFA) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut keterangan Badan Kepegawaian Negara (BKN), penerapan WFA diharapkan akan memiliki dampak positif berupa meningkatnya kinerja dan kepuasan pegawai dalam bekerja dan meningkatnya efektivitas dan efisiensi birokrasi pemerintahan.

WFA merupakan upaya untuk melakukan transformasi budaya kerja birokrasi berupa pemberlakuan pola kerja fleksibel di mana ASN dapat bekerja di mana saja dengan memanfaatkan teknologi. Bekerja secara fleksibel bukan merupakan hal baru bagi ASN. Ketika masa puncak pandemi COVID-19, ASN bekerja dari rumah melalui sistem kerja yang disebut Work from Home (WFH). Jika WFH merupakan langkah darurat yang terpaksa dilakukan demi keselamatan pegawai, WFA merupakan model kerja fleksibel yang dirancang secara sengaja dan berlaku secara tetap.

Terdapat berbagai faktor yang mendukung diterapkannya WFA di birokrasi pemerintahan. Pengalaman WFH telah membiasakan ASN untuk melakukan model kerja fleksibel sehingga secara budaya mereka relatif lebih siap. Faktor lainnya adalah tren sektor publik di luar negeri yang juga sudah jamak menerapkan WFA untuk berbagai jenis pekerjaan tertentu. Ini menunjukkan bahwa pegawai sektor publik dimungkinkan untuk bekerja secara fleksibel.

Pemberlakuan WFA bagi ASN akan terhindar dari pola umum dari model kerja fleksibel yang seringkali menjadi dalih untuk mengurangi hak-hak pekerja sebagaimana terlihat pada hubungan kerja antara perusahaan platform dengan ‘mitra’-nya. Karena dianggap sebagai pekerja mandiri, maka mereka bebas untuk menentukan pola kerjanya secara fleksibel. Namun dengan alasan itu juga mereka tidak mendapatkan hak-hak laiknya pekerja tetap seperti upah minimum, jam kerja maksimal, cuti, asuransi, dan pensiun. Eksploitasi semacam ini tidak akan terjadi bagi ASN yang merupakan pekerjaan dengan hak kepegawaian yang lengkap. Melakukan WFA tidak akan mengurangi hak-hak normatif ASN sebagai pekerja.

Saat ini, pembuatan aturan nasional yang mengatur dengan jelas mengenai pemberlakuan sistem kerja fleksibel di kalangan ASN merupakan hal yang urgen. Pascapandemi mulai mereda, berbagai instansi pemerintah memberlakukan kebijakan yang beragam terkait dengan sistem kerjanya. Selain instansi yang menerapkan sistem bekerja dari kantor secara penuh, ada pula yang memberlakukan bekerja dari rumah secara parsial dan secara penuh. Semuanya bergantung pada pimpinan dari masing-masing instansi. Ketidakseragaman pengaturan ini menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kecemburuan antarpegawai, fragmentasi pola kerja dalam tubuh pemerintahan, dan moral hazard.

Problem lain dari wacana WFA bagi ASN adalah sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan sistem kerja fleksibel yang telah diinisiasi sejak masa pandemi dan disampaikan secara transparan kepada publik. Terdapat kesimpulan yang tidak tegas mengenai efektivitas pelaksanaan WFH. Di satu sisi dikatakan wacana WFA muncul karena berjalan baiknya skema WFH pada masa pandemi. Di sisi lain, sebuah survei menemukan bahwa 30 persen ASN tidak melakukan apa-apa selama WFH sebagaimana belum lama ini diungkap oleh Kepala BKN.

Bagaimanapun, ketiadaan evaluasi tersebut sebaiknya tidak mencegah upaya perumusan desain WFA yang efektif bagi ASN. Dengan mendasarkan pada temuan dari berbagai kajian mengenai WFH di kalangan ASN, penulis bersama dengan kolega penulis merumuskan sembilan prinsip pokok yang dapat digunakan sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan sistem kerja fleksibel bagi ASN (Prasetyo & Sari, 2022).

Pertama, tidak semua ASN dapat melaksanakan WFA. ASN yang tidak dapat melaksanakan WFA adalah mereka yang dalam pekerjaan sehari-harinya harus datang di tempat kerja atau bertemu dengan pihak yang dilayaninya. Demikian pula halnya bagi daerah yang akses internetnya masih belum memadai. WFA tidak bisa dilakukan di daerah tersebut sampai daerah tersebut siap secara infrastruktur.

Kedua, WFA seharusnya tidak dipaksakan bagi pegawai yang menolak untuk menjalankannya. Beberapa pegawai hanya dapat bekerja secara kondusif di kantor, misalnya karena ketiadaan ruang khusus untuk bekerja di dalam rumah yang ditinggali banyak anggota keluarga atau minimnya ruang publik di luar rumah yang nyaman untuk dijadikan tempat kerja. Dalam kondisi demikian, preferensi pegawai tersebut untuk bekerja di kantor mesti diakomodasi.

Ketiga, kebijakan WFA mesti dituangkan dalam peraturan yang jelas dan berlaku secara nasional. Peraturan tersebut mesti memuat hal-hal rinci terkait pelaksanaan WFA seperti jabatan apa saja yang dapat melakukan WFA, hak dan kewajiban pegawai, mekanisme akuntabilitas, tata kelola, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada lagi fenomena di mana masing-masing instansi memiliki kebijakan berbeda terkait sistem kerja fleksibel.

Keempat, WFA mesti menjadi opsi yang tetap di masa depan. Hal ini penting untuk menjamin bahwa sistem kerja fleksibel merupakan fitur yang permanen dalam birokrasi, bukan sekadar tren sesaat. Dengan ini, maka mimpi untuk menarik generasi muda terbaik agar tertarik untuk menjadi ASN dapat terwujud karena birokrasi menawarkan pola kerja yang selaras dengan preferensi generasi muda saat ini, yakni bekerja secara fleksibel.

Kelima, kebijakan WFA mesti dievaluasi secara berkala. Evaluasi ini untuk memastikan apakah tujuan dari WFA tercapai. Jika tujuan WFA adalah untuk meningkatkan kepuasan kerja sekaligus kinerja pegawai, maka hal tersebut harus diukur secara rutin dan hasilnya ditindaklanjuti dengan langkah yang tepat. Jika pegawai tidak memenuhi target kinerja selama melaksanakan WFA misalnya, maka hak pegawai untuk melakukan WFA ditangguhkan.

Keenam, perlunya akselerasi digitalisasi pelayanan publik di segala lini. WFA akan berjalan secara efektif apabila segala jenis pelayanan pemerintah yang memungkinkan untuk didigitalisasi dilakukan secara daring sehingga pemberi layanan dan pengguna layanan tidak perlu melakukan interaksi langsung. Ini akan jauh lebih memudahkan apabila rencana pemerintah untuk mewujudkan aplikasi super (super app) juga diwujudkan secara simultan.

Ketujuh, perlunya garansi akses terhadap teknologi. Karena melakukan pekerjaan secara jarak jauh membutuhkan akses teknologi, semua pegawai yang melakukan WFA perlu memiliki akses terhadap perangkat teknologi yang dibutuhkan. Perangkat tersebut idealnya disediakan oleh organisasi karena tidak semua pegawai memiliki perangkat yang memadai. Adapun pegawai yang tidak memiliki kompetensi untuk menggunakan teknologi digital perlu diberikan pengembangan kapasitas.

Kedelapan, pelaksanaan WFA perlu memperhatikan work-life balance pegawai. WFA dapat menimbulkan problem berupa batasan kerja yang kabur antara tempat kerja dan rumah atau tempat berelaksasi. Akibatnya, pegawai rentan untuk bekerja secara berlebihan melebihi ketentuan jam kerja biasa. Hal ini harus dihindari karena dapat menurunkan kesejahteraan mental pegawai.

Kesembilan, perlu dihindarinya kontrol yang berlebihan terhadap pegawai. Kontrol yang eksesif akan menyebabkan pegawai merasa tidak dipercaya dan pada akhirnya menurunkan motivasi dan kinerja pegawai.

Dengan melaksanakan prinsip-prinsip tersebut, maka pelaksanaan WFA bagi ASN diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Terakhir, WFA hendaknya juga tidak mencegah publik selaku pemangku kepentingan dan pengguna layanan utama dari birokrasi pemerintahan untuk melakukan kontrol terhadap birokrasi. Semua pelayanan publik yang dilakukan secara daring perlu memberikan ruang bagi publik untuk dapat menyampaikan kritik dan umpan balik.

Skip to content