Menu Close

Akselerasi Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda

Mohd Febrianto, Analis Kebijakan pada Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia

Sudah lama pemerintah daerah mendapatkan hak otonom untuk dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya. Selain sebagai upaya bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan daerahnya, otonomi daerah juga bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, baik melalui peningkatan pelayanan publik maupun perumusan kebijakan yang mengatur masyarakat dalam suatu daerah.

Otonomi dan demokrasi merupakan satu kesatuan semangat dalam pemerintahan yang memposisikan rakyat sebagai penentu utama (Sukriono, 2009). Agus Dwiyanto dalam bukunya “Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik” juga menyatakan bahwa besarnya kewenangan suatu daerah akan memberikan manfaat yang besar pula apabila pemerintah daerah mampu membangun demokrasi di tingkat lokal (local democracy) melalui peningkatan partisipasi publik. Ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus dapat membangkitkan gelora demokrasi mulai di tingkat daerah, karena cerminan demokrasi nasional sudah pasti beranjak dari kualitas demokrasi di daerah. Oleh karenanya, dampak yang seharusnya dirasakan di era otonomi ini adalah meningkatnya kesadaran publik dalam setiap pesta demokrasi dan dalam proses perumusan kebijakan publik.

Kewenangan dalam mengatur rumah tangga ini seharusnya mampu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat di daerah, salah satunya melalui pembentukan peraturan daerah (perda). Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Red. UU Pemda), pemerintah daerah dapat membentuk perda dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas perbantuan. Tak ayal, pembentukan perda akhirnya menjadi tolak ukur dalam menilai kualitas demokrasi di daerah. Walau pembentukan perda selama ini sudah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembentukannya sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum daerah, namun keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya terkesan hanya sekedar menggugurkan tanggung jawab hukum. Partisipasi publik yang seharusnya dinomorsatukan sejalan waktu terus tergerus.

Menggugurkan Kewajiban “Partisipasi Masyarakat”

Selama ini perda dianggap sebagai curahan hasrat politis yang dibungkus dalam produk kebijakan daerah. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kepala daerah menjadi aktor kunci dalam pembentukan perda. Ketika komitmen kepala daerah begitu besar terhadap substansi pembentukan perda, maka proses pembentukannya menjadi sangat lancar. Keterlibatan masyarakat dalam pembentukan perda pun akhirnya hanya bersifat “menggugurkan kewajiban” saja.  Maka kemudian lahirlah istilah partisipasi semu, yaitu masyarakat yang dilibatkan bukanlah masyarakat yang berdampak langsung dari kebijakan yang dibentuk melainkan hanya representasi dari masyarakat umum saja, asalkan tahapan pelibatan masyarakat telah terpenuhi.

Akibatnya, masyarakat yang terdampak langsung dari kebijakan yang dibentuk tidak mengetahui substansi dan muatan dalam perda yang ditetapkan. Maka tidak heran jika pada akhirnya akan banyak perda yang ditolak dan dicabut. Ini tentu menimbulkan kesan bahwa kebijakan daerah adalah alat untuk “membodoh-bodohi” masyarakat. Pembentukan perda dengan mengakomodir kepentingan politis tanpa berorientasi pada kepentingan publik seperti ini jelas merusak semangat otonomi untuk menciptakan demokrasi di tingkat daerah.

Masyarakat yang Apatis

Selama ini pemerintah daerah hanya mengikutsertakan masyarakat dalam tahapan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Tahapan tersebut hanya sebatas formalitas untuk menjaring masukan masyarakat terhadap rancangan perda yang sebenarnya “sudah jadi,” yaitu sudah lebih dulu mengatur kepentingan politis pihak-pihak tertentu. Proses pembentukan perda seperti ini biasanya akan melahirkan pasal-pasal “ghaib”, yaitu pasal yang tiba-tiba saja muncul dari “antah-berantah”. Penyebabnya sudah jelas, masyarakat tidak dilibatkan sejak awal pembahasan masalah dan tidak juga pada tahapan-tahapan setelah RDPU. Hingga akhirnya ketika perda tersebut ditetapkan, masyarakat pun hanya pasrah dan mengelus dada.

Secara psikologis, sikap pemerintah daerah yang cenderung “mempermainkan” aspirasi masyarakat ini akan melahirkan masyarakat yang apatis. Maka kedepannya masyarakat dapat dipastikan akan cenderung abai dan bersikap “masa bodoh” terhadap kebijakan pemerintah. Jika masyarakat sudah acuh, maka fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat pun gugur. Tidak adanya keterbukaan informasi dalam proses penyusunan perda seperti tentu menjadi kemerosotan demokrasi bagi ibu pertiwi.

Pengembangan Model Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda

Partisipasi dari Hulu ke Hilir. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Red. UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) mempertegas bahwa masyarakat mempunyai hak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan secara lisan maupun tulisan, baik secara daring (dalam jaringan) ataupun luring (luar jaringan). Jika masyarakat memiliki hak memberikan masukan, maka artinya pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi hak masyarakat. Dalam pembentukan perda selama ini belum terlihat tindakan nyata dari pemerintah daerah dalam memenuhi hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karenanya, perlu adanya instrumen atau sistem dimana masyarakat dapat memantau dan mengawasi proses penyusunan perda mulai dari hulu yaitu penggodokan masalahnya hingga ke hilir yaitu diundangkannya perda. Di era digital seperti saat ini sangat mungkin bagi pemerintah daerah untuk membangun sebuah sistem dan mekanisme yang secara transparan dan dengan mudah dapat diakses oleh masyarakat. Dukungan anggaran untuk membangun sistem tersebut dirasa juga bukanlah sebuah tantangan yang dapat dijadikan alasan. Sebagai pelayan masyarakat, pemerintah daerah sudah sewajarnya pro aktif dalam menggalang aspirasi dan memastikan peran serta masyarakat terwujudkan dalam setiap proses dan tahapan penyusunan perda. Sehingga semua lapisan masyarakat dan pihak yang berkepentingan dapat melihat sejauh mana proses penyusunan perda. Terlebih lagi, masyarakat dapat mengetahui sejauh mana aspirasi mereka ditampung dan alasan aspirasi mereka ditolak.

Mapping Stakeholders

Pemberian ruang kepada publik dalam pembentukan sebuah perda seharusnya dilakukan sejak dari pembahasan permasalahan, implementasi kebijakan, hingga monitoring dan evaluasi kebijakan. Bagian pemerintahan di daerah yang menangani urusan di bidang hukum dapat melakukan mapping/pemetaan stakeholder yang mencakup pemrakarsa, pakar, lembaga masyarakat dan perwakilan masyarakat yang terdampak langsung, serta pihak yang mempunyai kepentingan atas materi muatan kebijakan. pemetaan stakeholder ini akan membangun sebuah kebijakan yang merepresentasikan berbagai pihak kepentingan. Kemungkinan risiko yang terjadi dalam setiap pembahasan dapat berupa benturan kepentingan dari berbagai pihak, oleh karenanya perlu adanya analisa dari pakar yang memahami substansi dengan berlandaskan pada data-data otentik untuk menjamin tidak terjadinya bias kepentingan dari masyarakat dan pihak yang berkepentingan lainnya. Karena meskipun bertujuan untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat, namun tidak semua aspirasi masyarakat dapat ditampung dalam sebuah perda.

Penguatan Fungsi Naskah Akademik

Seluruh hasil pembahasan rancangan perda harus dituangkan dalam naskah akademik. Sebagaimana yang diatur dalam Permendagri 80/2015 tentang Produk Hukum Daerah, pemrakarsa harus menyertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dalam mempersiapkan rancangan perda. Urgensi dari naskah akademik ini merupakan justifikasi awal untuk membentuk perda yang menjawab kebutuhan masyarakat, dan juga sebagai pijakan untuk melahirkan kebijakan berbasis bukti. Pada kenyataannya, selama ini banyak juga perda yang lahir tanpa adanya naskah akademik. Disinilah peran pemerintah daerah harus bersikap tegas bahwa naskah akademik merupakan syarat wajib dan bagian yang tidak terpisahkan dari rancangan perda. Bahkan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan perda pun seharusnya sudah dapat dilakukan sejak penyusunan naskah akademik. Itulah gunanya pemetaan stakeholders pada langkah awal, agar keterlibatan para pihak yang berkepentingan dalam pembentukan perda dapat terpenuhi dan terkendalikan untuk tahapan-tahapan selanjutnya. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib menyediakan informasi terkait penyusunan naskah akademik dengan mengedepankan asas keterbukaan dan kemudahan akses. Hal ini selaras dengan Amanah dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 96 ayat (4), bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Perda tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Perda

Sejauh ini, sebagian besar pemerintah daerah hanya mengatur partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Padahal dalam UU Pemda sudah ditegaskan, bahwa tata cara partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda dan kebijakan daerah diatur lebih lanjut dalam perda (Pasal 354 ayat (7)). Amanat tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah.  Walaupun sudah ada daerah yang telah membentuk perda tentang tata cara partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda, namun “spesifikasi” partisipasinya belum tertuang dengan gamblang. Substansi partisipasi masyarakatnya hanya berupa turunan dan “salinan” dari undang-undang diatasnya. Maka timbullah bentuk partisipasi masyarakat yang sama untuk daerah yang jelas-jelas berbeda. Seharusnya dengan karakterisktik yang berbeda-beda antar daerah dalam perihal budaya, sosial, dan juga topografi, maka substansi dan muatan dalam perda tersbeut juga berbeda. Jadi tidak harus mengikuti format partisipasi yang sudah “given”. Inilah seharusnya wadah pemerintah daerah dalam mengakselerasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda. Karena karakteristik daerah yang berbeda-beda akan melahirkan akselerasi model yang berbeda pula.

Menuju Perda yang Berkualitas

Perda dapat dikatakan sebagai salah satu media dalam membangun kepercayaan publik. Tingkat kepercayaan publik pun dapat diindikasikan dari peran serta masyarakat dalam pembentukan perda. Perda yang berkualitas tentu memiliki peran serta masyarakat yang baik.  Masyarakat pun tidak serta merta “dilibatkan” namun kemudian “diacuhkan”. Sudah saatnya legislatif dan eksekutif melakukan kolaborasi dan akselerasi dalam meningkatkan peran serta masyarakat mulai dari “nol”. Pada prinsipnya, partisipasi masyarakat bukan diartikan sebagai upaya menampung semua aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat yang sesungguhnya adalah masyarakat terinformasikan dengan baik sejauh mana proses penyusunan perda dan sejauh mana pula aspirasi mereka diakomodir, tentu dengan mengedepankan keterbukaan informasi. Nah, untuk perda yang berkualitas, maka perlu partisipasi masyarakat yang berkelas.

Skip to content