Menu Close

Analisa Big Data sebagai Alat Dukung Perumusan Kebijakan yang Lebih Komprehensif

Jakarta – Penyetaraan jabatan administrator ke dalam jabatan fungsional yang saat ini sedang terus dilakukan oleh pemerintah menjadikan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan menjadi jabatan fungsional yang cukup diminati. Hal ini menjadi tantangan bagi Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam membina para Analis Kebijakan (AK) untuk semakin profesional dan kompeten. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan LAN, Dra. Elly Fatimah, M.Si saat membuka Virtual Public Lecture Seri Ke-4 “Big Data and Analytical: Methods and Application” hasil kerjasama LAN dengan Tanoto Foundation yang dilaksanakan secara daring, Kamis (27/5).

“Pengembangan kompetensi konvensional yang dilaksanakan secara klasikal sudah tidak memungkinkan lagi untuk memenuhi kebutuhan pengembangan kompetensi bagi para AK. Oleh karena itu, kami berinovasi untuk menyelenggarakan virtual public lecture secara berseri dari awal april hinggal akhir desember nanti yang terdiri dari 19 seri sebagai sarana pembelajaran bagi AK,” jelasnya.

Elly juga menekankan bahwa seiring dengan perkembangan era VUCA di mana terjadi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, maka permasalahan pun menjadi semakin kompleks. Hal ini membutuhkan metode, cara dan pendekatan baru.

Big data di era VUCA ini menjadi hal yang penting bagi seorang AK untuk mengetahui, memahami bersama-sama, sehingga rekomendasi kebijakan yang dihasilkan menjadi semakin komprehensif serta dapat diaplikasikan karena didukung oleh data-data dan informasi. Informasi yang diperoleh tersebut bisa mendukung pekerjaan para analis kebijakan dan dapat menjadi rujukan dalam sebuah perumusan kebijakan atau data driven policy atau yang kita kenal sebagai evidence based policy,” tutupnya.

Sementara itu, Dosen Fisip Universitas Padjajaran, Dr. Mas Dadang Enjat Munajat, S.Si., M.T.I, yang hadir sebagai narasumber memaparkan bahwa pengertian big data itu sendiri sangat luas. Istilah ini dikenal sekitar tahun 2000-an yang dikenal dengan 3V (variety, volume dan velocity). Artinya, datanya memang sangat besar, sangat bervariasi dan terus ter-update, diproduksi dan datang dalam jumlah yang sangat cepat bahkan dalam sepersekian detik dan tidak bisa kita kontrol. Pengertian ini terus berkembang hingga dikenal dengan 10V, yaitu Volume, Value, Veracity, Visualisation, Variety, Velocity, Viscosity, Virality, Vocabulary dan Vagueness.

“Hingga 2015, sebagian besar data diperoleh dari sensor device dan social media, ini merupakan makanan lezat bagi penambang data. Karena jika bapak/ibu ingin melihat situasi/kondisi sosial, politik, ekonomi, environment, teknologi, law dari suatu negara bisa disuplai dari data ini. Tanpa kita sadari, kita menggunakan smartwatch kita sedang makan apa, posisinya dimana dan sebagainya, data-data tersebut kita berikan secara sukarela,” jelasnya.

Enjat Munajat menambahkan bahwa Informasi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan adalah informasi yang diolah dan kemudian dianalisa dan digunakan untuk memprediksi.

“Informasi tersebut tidak digunakan hanya untuk dashboard semata. Orang-orang itu butuh prediksi. Informasi sebagai asset yang sangat penting untuk bangkit dari keterpurukan. Data menjadi sangat penting pada saat pandemi Covid terjadi. Jika kita bicara big data, kita bicara raw material yang kemudian diolah melalui data analytics yang nantinya dibaca oleh data scientist sehingga nantinya bermanfaat dalam pengambilan keputusan,” tutupnya. 

Pada kesempatan yang sama, Yogi Suwarno, M.A., Ph.D., Kepala Pusat Kajian Manajemen Aparatur Sipil Negara LAN selaku moderator pada virtual public lecture kali ini menyampaikan bahwa fenomena big data sudah lama terjadi khususnya sekitar tahun 2000.

“Dari sudut pandang sector bisnis, mereka sudah memanfaatkan big data untuk mebuat keputusan dalam bisnis secara lebih efisien. Namun bagaimana kita yang di sektor publik memanfaatkan dan memaksimalkan big data ini khususnya dalam struktur pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan,” tambahnya.

Selain itu, Yogi juga menyampaikan bahwa bagi publik kebanyakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Hank dari Imperial College London “nobody want’s data, what they want are the answer”. Menurutnya, yang bisa menyediakan jawaban tersebut salah satunya adalah Analis Kebijakan. (humas)

Skip to content