Jakarta – Reformasi Birokrasi yang yang diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata pada capaian kinerja pemerintah dan pembangunan nasional masih belum dirasakan secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh karena birokrasi Indonesia selama ini masih bergerak dengan paradigma lama administrasi publik yang masih berorientasi pada model politik (Bureaucratic oriented political model). Walaupun beberapa indikator global terjadi perubahan namun dampaknya masih belum dirasakan secara signifikan. Hal ini dikatakan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Dr. Adi Suryanto, M.Si dalam Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Strategic Collaborative Governance untuk mendorong percepatan Reformasi Birokrasi Nasional” yang diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) secara daring, Jumat (12/3).
“Perlu perubahan paradigma tata kelola pemerintahan yang semula berorientasi pada bekerja sendiri menjadi bekerjasama secara gotong royong untuk mencapai tujuan bersama dapat disebut juga dengan network government atau collaborative governance. Paradigma collaborative governance, pemerintah yang dalam hal ini instansi pusat dan daerah tidak dapat bekerja menyelesaikan masalah-masalah publik sendirian” tuturnya.
Ia menambahkan, collaborative governance ini diperlukan adanya sinergi kerja yang berbasis pada komitmen bersama untuk menyelaraskan pemahaman terhadap suatu permasalahan publik dengan pelibatan berbagai kepentingan yaitu pemerintah, swasta, akademisi,masyarakat dan media yang disebut dengan pentahelix collaboration.
“Strategi ini dirasakan lebih efektif dalam menghadapi tantangan birokrasi kedepannya,” ungkap Adi.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi UI, Prof. Dr. Eko Prasojo mengatakan beberapa elemen penting dalam mewujudkan Collaborative Governance ini antara lain kepemimpinan, ketergantungan satu dengan yang lain, insentif yang jelas, proses pembuatan kebijakan , sumber daya yang dimiliki serta sistem kolaborasi program pembangunan, dan terakhir ialah dampak yang dihasilkan.
“Maka dari sini kita harus mendorong reformasi birokrasi kedepannya harus didasarkan pada capaian dampak yang jelas terhadap proses pembangunan itu sendiri (impact based reform)” jelasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, terkait collaborative governance maka perlu membangun manajemen kinerja lintas kementerian dan lembaga melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP) ini lebih tinggi dari SAKIP, melalui SAKP ini setiap kementerian dan lembaga juga pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam pencapaian prioritas program pembangunan nasional.
Ia mencontohkan dalam upaya mengentaskan kemiskinan, dalam proses perencanaan pembangunan dalam hal ini Bappenas dapat membagi outcome dan impact diantara lembaga-lembaga yang terlibat, sehingga permasalahan kemiskinan dari pusat dan daerah dapat diatasi.
Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Bima Haria Wibisana menjelaskan, Collaborative Governance harus ditunjang dengan pendekatan digital governance, pemanfaatan big data dan artificial intelligence menjadi salah satu faktor penting dalam upaya menyelaraskan program prioritas pembangunan nasional.
Ia berharap melalui Collaborative Governance ini dapat menjadi model yang diimplementasikan sebagai upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan pelibatan seluruh pemangku kepentingan.