Ditayangkan di Koran.Tempo.co pada tanggal 26 September 2024
Oleh Azizah Puspasari, S.Pd, MPA, Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Kajian Manajemen Aparatur Sipil Negara – LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Pembentukan kabinet gemuk oleh pemerintahan Prabowo Subianto berisiko mengganggu efektivitas pemerintahan di Papua
Rumor mengenai pembentukan kabinet “gemuk” oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto kian santer terdengar. Publik mulai bertanya-tanya, apakah formasi kabinet ini efektif membawa perubahan atau justru memperlambat kinerja pemerintahan?
Di sisi lain, rencana pembentukan kabinet gemuk juga bakal berdampak pada birokrasi di daerah. Terlebih bagi provinsi-provinsi baru di papua, seperti Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Papua Barat Daya, yang organisasi perangkat daerah atau OPD-nya masih rapuh.
Ketika wacana kabinet gemuk merebak, perhatian publik fokus tidak hanya tertuju pada pemerintah pusat, tapi juga pada daerah-daerah yang sudah berjuang dengan birokrasi yang kurang efisien. Provinsi-provinsi baru di Papua, misalnya, mengalami kesulitan yang serius dalam merestrukturisasi OPD-nya agar sesuai dengan kebutuhan lokal.
Struktur yang berlapis dan kompleks di tingkat pusat akan semakin menyulitkan komunikasi, koordinasi, dan implementasi kebijakan di tingkat daerah, terutama di wilayah seperti Papua yang membutuhkan perhatian khusus. Persoalan ini menjadi salah satu persoalan yang dikaji Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Pembentukan daerah otonomi baru di wilayah Papua menimbulkan tantangan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Permasalahan utama yang sering muncul dan dihadapi provinsi baru, terutama di Papua, meliputi perencanaan yang belum optial, pengelolaan keuangan daerah yang sering tidak transparan, pengadaan barang dan jasa yang rentan terhadap penyimpangan, serta akuntabilitas dan sistem pengendalian intern pemerintah yang masih perlu perbaikan. Kondisi ini diperparah dengan berbagai isu sosial-ekonomi, seperti masih tingginya angka kelaparan dan kemiskinan.
Tantangan lain muncul dari karakteristik aparatur sipil negara (ASN) yang berbeda dengan ASN di wilayah lain. Kuatnya nilai adat dan kesukuan menjadi salah satu faktor yang sangat memengaruhi dinamika birokrasi di Papua. Dalam banyak kasus, keputusan-keputusan dalam birokrasi harus mempertimbangkan keselarasan dengan adat dan norma kesukuan yang berlaku. Hal ini sering membuat proses birokrasi berjalan lebih lambat, karena setiap kebijakan yang diambil harus melalui diskusi panjang antar pemangku adat setempat.
Lembaga Administrasi Negara berupaya mengatasi persoalan ini da meningkatkan kompetensi para ASN dengan meluncurkan program magang. Program ini didasarkan pada teori pembelajaran pengalaman (experiential learning) dari David Kolb, yang menunjukkan bahwa pembelajaran melalui pengalaman lapangan jauh lebih efektif daripada hanya berbasis teori. Kolb menegaskan bahwa pembelajaran efektif terjadi ketika peserta mengalami, merenungkan, memikirkan, dan menguji hasil belajar dalam konteks nyata (Kolb, 1984).
Jurnal “Learning by Doing: The Role of Experiential Learning in Public Sector Training” oleh Smith dan Rothwell (2020) mendukung pendekatan ini, dengan menyebutkan bahwa ASN yang terlibat dalam magang atau pelatihan berbasis pengalaman langsung dapat meningkatkan kapasitas mereka lebih cepat dan lebih baik dalam situasi nyata, terutama di bidang pengelolaan publik. Hal ini semakin relevan di Papua, di mana keterbatasan sumber daya manusia dan tantangan sosial-budaya membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk pelatihan.
Peserta magang ASN ini nantinya harus membawa praktik terbaik dari daerah-daerah yang lebih maju ke wilayah asal mereka untuk mempercepat reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di Papua. Provinsi-provinsi maju seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I Yogyakarta telah menjadi tempat magang bagi ASN Papua untuk belajar tentang tata kelola pemerintahan yang lebih efektif.
Lalu apa hubungan rencana pembentukan kabinet gemuk Prabowo dengan birokrasi di Papua? Kehadiran birokrasi gemuk berisiko melahirkan kebijakan berlapis yang dapat memeprburuk birokrasi di daerah, terutama di provinsi baru. OPD yang rapuh, ASN yang harus berhadapan dengan adat dan kesukuan yang kuat, serta proses pengambilan keputusan yang lambat akan makin tertekan oleh kebijakan yang tidak spesifik dan tak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Solusi yang ditawarkan, seperti program magang ASN, adalah langkah yang baik, tapi program ini harus diiringi dengan kebijakan yang lebih konkret dan fokus pada pembangunan kapasitas ASN di Papua. Pemerintah pusat harus lebih sensitif terhadap kebutuhan daerah yang berbeda, dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan di Papua benar-benar relevan dengan konteks lokal.
Jika kabinet gemuk hanya menghasilkan lebih banyak kebijakan tanpa arah yang jelas, maka daerah seperti Papua akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakmampuan birokrasi dan pembangunan yang lambat. ASN Papua, dengan tantangan adat dan kesukuan yang unik, membutuhkan pendekatan yang lebih personal, spesifik, dan terintegrasi, bukan sekadar kebijakan dari pusat yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Dengan pemerintahan baru yang akan segera dilantik, harapan besar terletak pada kemampuan kabinet Prabowo-Gibran untuk melihat Papua bukan sekadar wilayah pinggiran, tetapi sebagai pusat reformasi birokrasi yang sesungguhnya.