Ditayangkan di kompas.com pada tanggal 13 September 2023
PEMILU 2024 masih lima bulan lagi. Pada pertengahan Agustus lalu, Presiden Jokowi menyebut suhu politik sudah hangat-hangat kuku.
Namun, melihat berbagai fenomena politik sampai awal September 2023, nampaknya sudah lebih dari sekadar hangat-hangat kuku.
Tak ayal, obrolan tentang politik kini kian mengemuka. Di warung kopi, di pos ronda, ataupun di grup chatting online, saling berbagi analisis dan prediksi politik kedepan. Seru. Seperti komentator sepakbola, mengomentari pertandingan sepakbola.
Kalau obrolan politik sudah menjadi trending topic, berarti pemilu kian mendekat. Bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN), semakin sering mendengar kata pemilu, berarti semakin sering terngiang kata “netralitas” di benak para ASN.
Saat muncul obrolan tentang politik di tempat tongkrongan ataupun di grup WhatsApp, para ASN seringkali membelokannya ke topik lain. Meskipun ingin sekali menanggapi obrolan tersebut, alhasil yang tersisa hanya rasa gregetan.
Pesta demokrasi lima tahunan ini memang tidak bisa dihindari. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti di Indonesia, pemilu menjadi jalan konstitusional untuk meraih legitimasi kekuasaan politik.
Netralitas aparatur birokrasi menjadi hal yang penting dilakukan agar pemilu berjalan tanpa adanya intervensi dari aparat birokrasi.
Namun, para politisi masih melihat birokrasi bak gadis yang sangat seksi. Mesin birokrasi dianggap bermanfaat untuk meraup suara di pemilu.
Para politisi melihat birokrasi memiliki sumber daya untuk memenangkan kontestasi politik. Mulai dari ketersediaan massa (SDM), sarpras, jaringan, program, hingga anggaran.
Saling Silang Kepentingan
Posisi ASN yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pelaksana kebijakan, pemegang kekuasaan (birokrasi), pengelola anggaran maupun sumber daya birokrasi, sering dimanfaatkan oleh para politisi untuk mendulang suara. Para birokrat seringkali digoda dengan iming-iming jabatan.
Sepanjang 2019 lalu, KASN merilis terdapat 412 pelanggaran netralitas ASN pada pemilu.
Pelanggaran netralitas ASN didominasi kegiatan ikut melakukan kampanye atau sosialisasi melalui media sosial, yang meliputi aktivitas posting, atau komen, atau share, dan/atau like (KASN, 2020).
Lebih lanjut, KASN mengungkapkan bahwa pelanggaran netralitas ASN seringkali ditemui di lingkup pemerintah daerah.
Dari 10 instansi pemerintah dengan kasus pelanggaran netralitas ASN tertinggi, sembilan di antaranya adalah instansi pemerintah daerah, yaitu Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi NTB, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bulukamba, Kabupaten Banggai, Kota Makassar, Kabupaten Supiori, dan Kabupaten Muna.
Saling silang kepentingan antara politisi dengan aparat birokrasi turut berkontribusi dalam praktik ketidaknetralan ASN.
Menurut Bawaslu, seringkali ASN berada dalam posisi yang dilematis ketika berhadapan dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yang sekaligus dijabat oleh kepala daerah.
Posisi PPK sejatinya merupakan jabatan politis, membuat karier ASN seringkali dikaitkan dengan kepentingan politik.
PPK memiliki wewenang dalam hal kepangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ASN seringkali dijadikan alat oleh kepala daerah “nakal”, yang menggunakan kewenangannya untuk mencari keuntungan pribadi. Misalnya, dengan jual-beli jabatan, memeras pejabat birokrasi, atau mencari dukungan suara.
Bagai gayung bersambut, para birokrat yang memiliki obsesi untuk mempertahankan jabatan atau untuk mengincar posisi lebih tinggi, juga bisa saja menjadi “pengabdi” kepada atasannya tersebut. Demi menarik simpati dan dipandang sebagai loyalis sang kepala daerah.
Arus Balik Kepentingan
Jika semua berbasis pada kepentingan, bagaimana jika kepentingan keduanya dilihat dari perspektif lain?
Para ASN berkepentingan untuk mendapat kepala daerah sekaligus PPK yang mampu mengelola ASN dengan baik. Dan kepala daerah berkepentingan memiliki tim berkualitas dan mampu mengeksekusi program yang telah dijanjikannya pada saat kampanye.
Bila kedua kepentingan tersebut dikedepankan, saya meyakini muaranya adalah penguatan sistem merit di tubuh birokrasi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini masyarakat masih menyandarkan harapannya pada politisi untuk membenahi birokrasi dan pelayanan publik. Hal ini tidak terlepas dari berbagai stigma negatif yang masih menyelimuti birokrasi.
Para ASN yang juga merupakan bagian dari masyarakat, memiliki kepentingan untuk mendapatkan pemimpin atau kepala daerah yang dinilai mampu untuk memimpin daerah sekaligus mampu memimpin birokrasi.
Tentu, pilihan pada sosok pemimpin yang tepat akan dapat terwujud bila ASN memiliki kebebasan dalam memilih.
Tidak ada intervensi, baik dari sisi politik serta karier ASN kedepannya. ASN ingin mendapatkan kepala daerah yang mampu membawa daerahnya menjadi lebih baik sekaligus menjadi PPK yang mampu mengelola ASN dengan baik.
Sebaliknya, dari sisi kepala daerah tentu ingin meraih citra positif dari masyarakatnya. Citra positif ini tentu saja terbangun dari kinerja baik. Kinerja baik tentu bukan hanya kerja sang kepala daerah semata.
Kepala daerah sejatinya membutuhkan ASN berkualitas. ASN yang berkinerja dan memiliki kompetensi untuk menerjemahkan berbagai platform kebijakannya menjadi program kerja yang nyata berdampak bagi masyarakat.
Oleh karenanya, prinsip merit sistem dalam manajemen ASN perlu untuk terus diperkuat guna meneguhkan berjalannya asas netralitas ASN.
Bila sistem merit dapat diterapkan secara serius dalam manajemen karier ASN, pengisian JPT serta pergerakan karier ASN bukan lagi berdasarkan pada preferensi like atau dislike, tetapi berdasarkan pada kompetensi dan performa kinerja.
Kepala daerah maupun ASN sama-sama memiliki kepentingan terhadap berjalannya sistem merit dalam pola karier ASN. Memiliki staf kompeten menjadi kebutuhan kepala daerah untuk memajukan daerahnya.
Sistem merit juga menjadi kebutuhan dari para ASN, guna menciptakan kesetaraan arena dalam pengembangan karier. Hadirnya arena karier yang adil, diharapkan mampu memberikan motivasi bagi para ASN untuk terus berkinerja dan mengembangkan kompetensinya.
Bangsa kita sepertinya sudah cukup kenyang dengan pengalaman birokrasi yang ikut dalam politik praktis.
Singgungan tersebut menimbulkan birokrasi yang mandul dalam melayani kebutuhan publik. Karena tersandera oleh kepentingan politik penguasa, menjadi birokrasi yang ABS (Asal Bapak Senang), koruptif, serta diskriminatif dalam memberikan pelayanan publik.
Tentu kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika polarisasi politik ini juga merambah di dunia ASN masa kini.
Saya coba berimajinasi seandainya hal tersebut benar terjadi, mungkin sebelum memberikan pelayanan kepada masyarakat, para aparatur negara bertanya terlebih dahulu, “Saat pemilu pilih partai apa? Pilih kandidat yang mana?”
Bila sesuai dengan pilihannya, maka akan mendapatkan pelayanan dengan baik. Namun, bila berbeda dengan pilihannya, masyarakat akan mendapatkan pelayanan publik layaknya berada dalam restoran Karen’s Dinner. Rude service.