Sehubungan dengan arus globalisasi yang semakin deras, saat ini, orang-orang cenderung tidak lagi menyimpan uangnya di dompet lipat mereka. Pesatnya kemajuan teknologi, khususnya di perkotaan, membuat uang fisik sudah sangat jarang digunakan. Bagaimana tidak, mulai dari ongkos wara-wiri, urusan perut, hingga keperluan sehari-hari semua sudah dapat menggunakan dompet digital. Mulai dari m-banking, e-money, e-wallet, hingga sistem terbaru keluaran Bank Indonesia, QRIS, memudahkan kita dalam bertransaksi multi-platform. Kemajuan teknologi perbankan tersebut mengubah setiap sendi kehidupan kita sampai-sampai sebagian besar orang malah lebih takut tidak terhubung ke internet dibandingkan ketinggalan dompetnya.
Selain dampak positif dalam hal kemudahan bertransaksi daring, kemajuan teknologi juga memiliki dampak negatif kejahatan siber (cybercrime) seperti pencurian data.
Dari data yang dirilis oleh Bank Indonesia, jumlah transaksi elektronik mulai meningkat sejak tahun 2012 pada saat awal booming-nya internet di Indonesia. Saat itu, jumlah transaksi elektronik mencapai total 100.635 transaksi. Delapan tahun berselang, pada tahun 2020, jumlah transaksi elektronik meningkat 150 kali lipatnya menembus angka 15.043.475 transaksi dengan nilai transaksi mencapai 504.956 miliar rupiah. Lebih lengkapnya, data jumlah transaksi ditampilkan pada line chart berikut.
Selain berbagai dampak positif dalam hal kemudahan bertransaksi daring, kemajuan teknologi juga memiliki dampak negatif yang berbahaya. Manfaat kemudahan bertransaksi yang ditawarkan membuat peredaran uang di jagat maya semakin besar. Peredaran uang yang semakin besar tersebut membuat pola kejahatan juga perlahan berubah dari kejahatan konvensional seperti copet, jambret, hingga premanisme, menjadi kejahatan siber seperti peretasan data, carding, hingga penipuan daring.
Kejahatan siber, atau dikenal pula dengan cybercrime, adalah suatu bentuk kejahatan yang terjadi di jagat maya melalui komputer, perangkat seluler, dan jejaring internet. Pelaku kejahatan siber ini umumnya adalah ‘orang-orang pintar’ yang paham bagaimana algoritma dan pemrograman komputer dijalankan. Melalui algoritma tertentu, pelaku dapat dengan mudah menganalisis, mencari celah, lalu pada akhirnya membobol perangkat kita. Saat pelaku sudah menguasai perangkat, pelaku dapat dengan leluasa mencuri data-data kita dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi pelaku.
Beberapa jenis kejahatan siber yang berkembang di era digital ini antara lain:
- unauthorized access, kejahatan dengan cara menyusup ke dalam sistem komputer tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pemilik sistem. Dengan cara ini, pelaku dapat mencuri data-data pemilik sistem sehingga dapat melakukan pembajakan dan perusakan sistem (hacking dan cracking).
- illegal contents, kejahatan berupa penyebaran sesuatu yang menyesatkan ataupun tidak etis yang melanggar norma-norma masyarakat seperti misalnya penyebaran berita bohong (hoax) dan penyebaran konten pornografi.
- penyebaran virus, kejahatan dengan tujuan melumpuhkan perangkat korban hingga pencurian dan perusakan data dengan cara menyusupkan virus seperti yang terkenal adalah trojan dan ransomware.
Di Indonesia sendiri, kasus kejahatan siber marak terjadi terutama saat pandemi lalu. Kemudahan transaksi digital ditambah dengan gejolak perekonomian dunia dampak dari pandemi membuat platform pinjaman online (pinjol) bermunculan. Beberapa kasus kejahatan siber terkait pinjaman online pun akhirnya mencuat, yakni maraknya pencurian data berupa KTP untuk disalahgunakan untuk pinjaman online. Beberapa orang mengaku tiba-tiba ditelepon orang tidak dikenal menagih hutang uang yang tidak pernah dipinjamnya.
Kejahatan siber dapat menyerang siapa pun, tidak hanya individu masyarakat, namun juga organisasi pemerintahan sekalipun. Kasus yang sempat menjadi trending beberapa waktu yang lalu adalah kebocoran data kependudukan pemerintah yang berhasil diretas oleh Bjorka. Dalam kurun waktu setahun, pada tahun 2022, Bjorka diketahui telah menjual data-data pribadi penduduk di situs gelap. Data kependudukan yang berisi nama, alamat surel, NIK, nomor telepon, hingga alamat rumah tersebut diduga berasal dari Peduli Lindungi, My Pertamina, KPU, dan BPJS.
Dari data yang diperoleh dari Surfshark, sebuah perusahaan keamanan siber yang berbasis di Belanda, Indonesia menempati urutan ke-3 dengan jumlah kasus kebocoran data terbanyak di dunia. selama kuartal III-2022, sebanyak 12,74 juta akun yang mengalami kebocoran data di Indonesia. Angka tersebut lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Tiongkok yang notabene memiliki penduduk yang lebih banyak dari Indonesia. Data jumlah kasus kebocoran data dapat dilihat pada bar chart berikut.
Beberapa contoh kasus kejahatan siber berupa pencurian data tersebut tentunya dapat kita hindari sebagai individu dengan menjalankan beberapa tips berikut.
- Tidak sembarangan klik tautan, berkas, atau iklan yang dikirimkan orang atau organisasi yang tidak dikenal melalui media email, WhatsApp, SMS, ataupun ketika sedang menjelajahi (browsing) di internet. Lebih berhati-hati saat akan mengunduh data dari internet, selalu periksa dan teliti apakah tautan tersebut merupakan tautan asli atau tipuan (phising).
- Hindari penggunaan kata sandi yang sama untuk setiap akun dan mudah untuk ditebak. Gunakan kombinasi huruf kecil, kapital, angka, dan simbol sebagai sandi agar sulit untuk diretas.
- Hindari penggunaan software bajakan. Software bajakan dikhawatirkan telah disusupi virus oleh pembajaknya sehingga dapat merusak perangkat yang telah terinstal software tersebut.
- Gunakan antivirus yang up to date dan selalu menyalakan antivirus sehingga berkas yang dicurigai sebagai virus akan dapat terdeteksi dan bisa otomatis dikarantina.
- Selalu menjaga dan menyimpan data-data pribadi seperti foto KTP, foto selfie dengan KTP, NIK, dan sebagainya. Jangan sembarangan membagikan data-data pribadi tersebut ke orang lain atau organisasi yang tidak dikenal.