Menu Close

Women Day, Momentum Refleksi Kebijakan Pemberdayaan

Avrina Dwijayanti, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara

Perempuan yang aktif di luar lingkungan keluarga dianggap “lebih berhasil” dibanding perempuan yang memilih atau tidak bisa mengambil pilihan selain menjadi pendidik di tengah-tengah keluarga.

Stigma ini berasal dari ukuran kesetaraan yang menjadi acuan, bahwa kaum perempuan yang bisa melepaskan diri dari “peran domestik”-nya di keluarga, adalah perempuan yang berdaya, sementara peran perempuan di keluarga sebagai pendidik utama anak-anak misalnya tidak dijadikan sebagai standar pengukuran terhadap keberdayaan.

Kontradiktif dengan pandangan bahwa peran perempuan di luar rumah yang dominan tidak berkesesuaian dengan kodrat perempuan sehingga pada akhirnya, konsep pemberdayaan ini berupaya masuk pada lingkungan rumah tangga.

Pendekatan pemberdayaan perempuan kemudian cenderung menyamaratakan dan mengabaikan orientasi dan keunikan pribadi perempuan sehingga lahir stigma berikutnya, bahwa sebagai ibu rumah tangga, perempuan lebih berdaya apabila dapat berkontribusi nyata pada aspek ekonomi keluarga dan harus memiliki kecakapan dan keterampilan selain mengurus rumah tangga.

Patut direnungi bahwa dewasa ini, perempuan tidak berjibaku lagi dengan diskursus pembebasan atas hak berdaya, karena perempuan hari ini telah melampaui kesetaraan atau pun pemberdayaan.

Di tengah disrupsi dan akses terhadap gelombang informasi, setiap hari justru perempuan lumrah berhadapan dengan kebebasan dan keberdayaan dalam menentukan pilihan pun menghadapi konsekuensi pilihan pilihan itu; entah ingin di “dalam” ataukah berkarir di “luar” rumah.

Bahkan kita seringkali menemukan, seorang perempuan dengan sendirinya mau dan mampu mengambil kedua peran itu secara bersamaan.

Mengejawantahkan apa yang pernah dilontarkan Simone de Beauvoir, seorang filsuf dan penulis perempuan Perancis bahwa kebebasan itu bukanlah kemampuan untuk melakukan semua hal, melainkan kemampuan untuk melampaui apa yang ada menuju masa depan.

“To be free is not to have the power to do anything you like; it is to be able to surpass the given toward an open future”.

Pendekatan pemberdayaan dewasa ini perlu diperkaya dengan adanya insight atas diri tiap perempuan, yang berupaya memenuhi kebutuhan perempuan dengan mengekplorasi potensi perempuan dalam ranahnya masing masing.

Pendekatan ini sebagai perspektif bagi kebijakan pemberdayaan perempuan, dimana keberdayaan perempuan diorientasikan pada aktivitas apa pun yang setiap hari dilakukan perempuan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

Revaluasi perspektif kebijakan pemberdayaan selanjutnya menitikberatkan pada kesepahaman bahwa keberdayaan perempuan mutlak dimotori oleh pengayaan pada aspek kognitif perempuan.

Edukasi dan moderasi yang kontekstual terhadap aktivitas yang dilakukan sehari-hari oleh perempuan mengingat beragamnya aktivitas dan profesi yang dilakoni perempuan dari seluruh penjuru negeri.

Hal ini bukan semata untuk menghindari disparitas antara kemauan dan kebutuhan perempuan dengan program pemberdayaan yang ada melainkan lebih luas membangun konfigurasi antara perempuan dengan seluruh otoritas yang ada.

Perspektif kebijakan pemberdayaan perlu pula mengindahkan aspek sosial-ekologis dimana semua perempuan setiap hari berjibaku hidup.

Perspektif kebijakan tidak boleh abai dalam melihat kerusakan alam sebagai aspek yang sangat berhubungan dengan keberadaan dan keberdayaan seorang perempuan.

Diskursus ini berkembang dari paham ekofeminisme yang muncul di tahun 1970an; “perempuan adalah manifestasi alam, alam yang subur dan produktif adalah alam yang terpelihara demikian halnya perempuan.

Relasi-konfigurasi lingkungan dan perempuan ini sangat dapat menjadi acuan dalam perspektif kebijakan pemberdayaan.

Diskursus ekofeminisme untuk pemberdayaan bukan hanya bagi perempuan di lingkungan agraria dan maritim melainkan perempuan di seluruh lingkungan, juga untuk perempuan kelompok masyarakat urban dan modern.

Perlu pra kondisi yang teliti bahkan strategi environment recovery di masing masing lingkungan agar tercipta kondusifitas keberdayaan bagi perempuan yang hidup di dalamnya.

Menyambut International Women Day yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2023, UN Women merilis tema hari perempuan internasional tahun ini, yakni DigitALL: Innovation and technology for gender equality.

Apakah lingkungan strategis yang kondusif untuk bertumbuhnya inovasi dan pendayagunaan teknologi yang dimotori perempuan sudah tersedia hari ini?

Adakah startegi dan/atau langkah yang sistematis telah ditempuh oleh stakeholder pemberdayaan perempuan sebagai pra kondisi untuk menanggulangi isu strategis gender di era disrupsi?

Pertanyaan pertanyaan tersebut layak dikemukakan dalam rangka memperingati hari perempuan internasional sebagai pemantik untuk menindaklanjuti revaluasi perspektif kebijakan perempuan kita hari ini.

Terakhir barangkali patut direnungi bahwa hari hari ini, sekali kita perlu menyemarakkan hari perempuan bukan dengan kebaya lagi, tapi selebrasi dengan mengenakan daster, celemek, mengencangkan roll rambut, atau melepas kait b*a.

Barangkali kita tidak perlu mengenakan celak, sanggul dan gincu lagi, tetapi merayakan dengan mengenakan kacamata, di depan layar komputer, mengetik dan berkelindan dengan riuhnya media sosial, sebagai refleksi bahwa perempuan perempuan sekarang, berdaya dengan caranya sendiri sendiri.

Sebagai refleksi bahwa keberdayaan sesungguhnya berasal dari kebhinekaan perempuan.

Sebagai refleksi bahwa pemberdayaan yang tidak mengindahkan jati diri perempuan justru berpeluang menenggelamkan perempuan pada stigma stigma baru.

Selamat menyemarakkan Hari Perempuan Internasional.

Skip to content