Pada awal tahun 2020, ketika pergerakan masyarakat mulai dibatasi dalam upaya mengurangi penyebaran Covid-19, kita diingatkan pada betapa eratnya hubungan kita dengan transportasi. Tanpa transportasi, mobilitas orang dan barang, distribusi logistik, sumber pencaharian bagi begitu banyak usaha, sarana bagi pengakses kesehatan, pendidikan, makanan dan keuangan semuanya hampir tiba-tiba terhenti.
Di bawah bayang-bayang pandemi, kita telah kehilangan masa-masa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pengentasan kemiskinan. Hal ini terlihat jelas dari laju pertumbuhan PDRB kita (Aceh) sepanjang tahun 2020 yang menyentuh -0.37% setelah tiga tahun berturut-turut tumbuh positif di atas 4%, di mana sektor transportasi menjadi kontributor terbesar dalam penurunan PDRB ini (Bappenas, 2022).
Menyadari pentingnya peranan transportasi untuk menggerakkan roda perekonomian Aceh agar terus berputar dan bertumbuh, sudah selayaknya kita dan pemerintah bersama-sama memberikan perhatian lebih kepadanya. Kita harus hadir mencarikan solusi untuk setiap permasalahan dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh sektor transportasi.
Alangkah mulia komitmen ini jika kita memulainya dengan memastikan setiap elemen masyarakat tanpa pandang bulu dapat mengakses dan menggunakan setiap infrastruktur dan sarana transportasi, baik itu yang ada di darat, laut dan udara secara mudah, cepat dan dengan harga yang terjangkau.
Pencapaian di titik ini tentunya akan berpotensi besar untuk membalikkan banyak kemunduran yang terjadi saat pandemi, sekaligus menetapkan arah yang lebih tegas menuju masa depan Aceh yang lebih berkelas dan adil bagi seluruh masyarakatnya.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa salah satu permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat Aceh pada sektor transportasi pasca pandemi saat ini adalah melambungnya harga tiket pesawat dari dan ke Aceh. Harga tiket pesawat saat ini sangat tidak terjangkau untuk masyarakat menengah ke bawah.
Saya sendiri dan keluarga sempat beberapa kali menunda untuk mengunjungi mertua di Pulau Jawa lantaran tidak mampu membeli tiket pesawat yang terlalu mahal. Akhirnya, saya dan keluargapun mencari alternatif untuk pergi naik bus ke Medan, dan dari Medan naik pesawat ke Jakarta. Harga tiket pesawat dari Medan ke Jakarta jauh tiga kali lebih murah dibandingkan Banda Aceh-Jakarta.
Ada beberapa faktor yang disebut-sebut menjadi penyebab tingginya harga tiket pesawat di Aceh, salah satunya adalah karena adanya duopoli harga lantaran minimnya maskapai yang melayani penerbangan dari dan ke Aceh.
Duopoli harga ini dilakukan oleh dua maskapai yang saat ini sedang menguasai pasar tanah rencong, yakni Lion Air Group dan Garuda Group. Kedua maskapai ini serempak mematok harga di tarif batas atas yang diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019.
Faktor lain yang disebut menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat ini adalah rendahnya tingkat keterisian kuota pesawat dengan rute dari dan ke Aceh. Untuk menutupi biaya operasionalnya, pihak maskapai disebut terpaksa membebankan biaya tersebut kepada masyarakat dengan cara menaikkan harga tiket sampai ke tarif batas atas.
Apapun alasan dari tingginya harga tiket pesawat ini tentunya sangat memberatkan masyarakat Aceh yang ada di Aceh untuk dapat pergi ke luar daerah dan masyarakat Aceh yang berada di luar daerah untuk pulang ke Aceh. Dari sisi ekonomi, mahalnya tiket transportasi udara ini juga berimplikasi pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Aceh pada beberapa sektor penting seperti sektor pariwisata, ekonomi kreatif dan penyediaan akomodasi.
Penurunan minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang dan berkunjung ke Aceh karena mahalnya harga tiket ini akan mengakibatkan promosi pariwisata yang telah kita bangun terganggu. Tingkat okupansi hotel juga menurun, pelanggan restoran dan pusat oleh-oleh ekonomi kreatif juga sepi.
Di samping itu, efek domino lain yang ditimbulkan dari tingginya harga tiket pesawat ini adalah naiknya harga pada sektor logistik. Sebagaimana kita ketahui, bisnis logistik angkutan udara atau kargo udara merupakan lini usaha yang tidak terpisahkan dari industri penerbangan. Tingginya harga tiket penumpang akan sejalan dengan tingginya harga kargo udara.
Pelaku usaha, terutama sektor ritel tentunya terkena imbas dari mahalnya biaya pengiriman ini yang kemudian terpaksa dibebankan pada konsumen (masyarakat) dengan menaikkan harga barang. Akibatnya, saat ini masyarakat Aceh lebih memilih untuk membeli barang secara online melalui perusahaan-perusahaan besar e-commerce, seperti shopee, tokopedia dan lazada karena harganya yang jauh lebih murah dan gratis biaya pengiriman.
Alhasil, sektor ritel di Aceh menjadi sepi karena sebagian besar uang masyarakatnya telah mengalir ke pedagang-pedagang yang ada di luar daerah. Hal inilah yang kemudian menyebabkan rendahnya perputaran uang di Aceh yang dapat berimplikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi Aceh.
Menanggapi permasalahan dan tantangan yang ada saat ini, pemerintah Aceh harus turun tangan dan bergerak bahu-membahu dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian guna mencarikan solusi yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun. Sebagai contoh, untuk merespon mahalnya harga tiket pesawat dari dan ke Aceh, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam terlebih dahulu mengenai penyebab pasti dari mahalnya harga tiket pesawat ini.
Jika memang terjadi duopoli harga, salah satu solusi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengundang operator maskapai asing untuk masuk ke dalam pasar maskapai dalam negeri, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang harus diatur secara komprehensif agar tidak merugikan kedirgantaraan kita.
Keberadaan maskapai luar negeri ini dapat memicu kompetisi pemain maskapai yang selama ini mendominasi agar harga tiket pesawat dapat mencapai satu titik keseimbangan yang bisa lebih terjangkau oleh masyarakat. Di sisi lain, hal ini juga akan mendorong maskapai dalam negeri untuk berinovasi dan melakukan efisiensi agar dapat menyamai biaya operasional maskapai asing.
Selanjutnya, jika benar rendahnya tingkat okupansi pesawat dengan rute dari dan ke Aceh yang menyebabkan harga tiket naik, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan pemerintah Aceh adalah dengan mengikuti langkah Pemerintah Kabupaten Toraja dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang melakukan sistem block seat. Sistem block seat ini dilakukan dengan memesan tiket terlebih dahulu untuk keperluan perjalanan dinas yang sesungguhnya dimaksudkan guna menjamin tingkat keterisian kuota pesawat agar bisa lebih dari 60 persen.
Dalam hal ini, pemerintah daerah memberikan dukungan kepada maskapai sehingga bisa terus melayani rute dari dan ke Aceh dengan harga yang terjangkau, karena kepastian okupansinya. Selain itu, Pemerintah Aceh juga dapat memberikan insentif tertentu untuk meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak maskapai, misalnya biaya sewa di bandar udara, biaya ruangan, biaya pendaratan, biaya parkir, biaya rute dan lainnya.
Kedua kebijakan ini dapat menjadi alternatif win-win solution untuk masyarakat dan pihak maskapai.